Pendapat Sahabat Peradilan (AMICI CURIAE) “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”

Kepada Yth, Ketua Pengadilan

Malang 2 Maret 2021

Kami yang tergabung dalam KIKA, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik yaitu lembaga independen dan pro bono yang dibentuk kumpulan lembaga atau pusat studi dan akademisi serta peneliti yang memiliki perhatian mendalam terhadap permasalahan kebebasan berpendapat serta berekspresi di Indonesia termasuk kebebasan akademis, dengan ini menyatakan diri sebagai Amici Curiae (para sahabat peradilan), mengirimkan catatan Amici dalam pidana negara di PN atas nama terdakwa Heri Gunawan dan Arwan Syahputra dengan Nomor Perkara 1339/Pid,B/2020/PN-Kis dengan simpulan Surat Tuntutan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara No. PDM-63/L.2.32/Eku2/12/2020,

  1. Tidak memiliki dasar yang jelas karena penyampaian pendapat bukan
    merupakan pelanggaran hukum.
  2. Membebankan seorang individu, pada kesalahan yang tidak diperbuat.
  3. Obscuur dalam hal menerangkan pekerjaan yang sah.
  4. Fakta persidangan menunjukkan tidak ada bukti yang jelas apalagi yang
    dilakukan dengan perkiraan
  5. Melanggar hak asasi manusia seseorang untuk mendapat proses peradilan
    yang seimbang (due process of law)
    Simpulan tersebut didasarkan pada pengkajian berupa Amici Curiae. Adapun
    uraian Amici ini dapat dilihat dalam bagian di bawah ini:

a) Pengantar
b) Amici Curiae Dalam Sistem Peradilan Indonesia
c) Hukum Pidana Tidak Semata-Mata Sebagai Ultimum Remidium
d) Demonstrasi Adalah Pelaksanaan Demokrasi Dan Dilindungi Peraturan
Perundang-Undangan
e) Pokok-pokok Amici
f) Penutup

A. PENGANTAR

Pada tanggal 12 Oktober 2020 telah terjadi aksi demonstrasi tolak UU omnibuslaw law ” Cipta kerja ” di Kantor DPRD batubara, Sumatra Utara yang diikuti oleh elemen masyarakat, buruh, mahasiswa, dan pelajar, sebelumnya aksi berjalan damai setelah kemudian ada Provokator yang kemudian melempar batu ke arah gedung DPRD batubara sehingga mengenai kepala Kasat Sabhara Polres Batubara, setelah itu terjadi Cheos yang membuat para demonstran juga ikut terluka.

Setelah selesai aksi sekitar 42 Orang para Demonstran di amankan ke polres batubara, dan sampai saat ini dari jumlah tersebut sudah 7 orang lebih yang di jadikan Sebagai Tersangka Atas aksi yang berujung Cheos tersebut Korlap aksi Arwan Syahputra yang juga merupakan Mahasiswa Hukum Tatanegara angkatan 2017 Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, yang juga merupakan Ketua HMI Komisariat Hukum Unimal terpilih Cabang Lhokseumawe.

  • Aceh Utara juga di cari oleh Yurisdiksi Polres Batubara

Dan berita duka pun terjadi menurut informasi sekitar jam 14.38 tanggal 20 Oktober 2020 ada 2 orang yang menjemput Arwan di mensa kupi Lhokseumawe, Aceh ketika sedang melanjutkan aktivitas perkuliahan nya, penjemputan dilakukan dengan menggunakan mobil Pajero/Fortuner menurut saksi mata dan sampai saat ini hilang kontak Arwan dengan teman-teman mahasiswa lainnya, dan informasi terkini yang kami himpun Arwan sudah di amankan ke polres batubara menjalani pemeriksaan, terkait status hukumnya masih belum bisa kami dapatkan informasi nya apakah masih saksi atau sudah tersangka.

B. AMICI CURIAE DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA

Amicus curiae adalah sumber hukum materiil yang memudahkan hakim dalam menggali nilai-nilai keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Meskipun berada di luar sistem peradilan, namun tradisi peradilan ini pada abad ke -9 diterapkan khususnya di pengadilan tingkat banding atau kasus-kasus yang penting, kemudian pada abad ke -17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England Report 1.

Amicus Curiae sering dipraktekkan dalam tingkatan kasasi karena ranah ini merupakan ranah judex juris bukan judex factie. Dalam tradisi judex juris hakim diharapkan tidak hanya mempertimbangkan pasal-pasal saja, tetapi hakim harus mampu menafsirkan pasal-pasal tersebut dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam perkara yang ia tangani. Ini semua dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan keadilan yang substantif, ketika keadilan substantif diterapkan maka fungsi pengadilan telah berjalan dengan sempurna, karena tidak ada permasalahan yang muncul akibat putusan yang hakim keluarkan.

Begitulah esensi peradilan, diciptakan untuk menyelesaikan permasalahan, bukan malah membuat permasalahan baru. Di Indonesia beberapa kasus yang menggunakan Amici Curiae adalah Kasus Prita Mulyasari, Kasus Baiq Nuril. Penggalian nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat merupakan kewajiban para hakim sebagai bahan untuk draf putusan, hal itu juga amanat dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

C. HUKUM PIDANA TIDAK SEMATA-MATA SEBAGAI ULTIMUM REMIDIUM

Hukum bukan semata-mata ultimatum remidium. Pada esensinya, hukum itu diarahkan untuk membentuk manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Untuk itu hukum harus dilandasi prinsip negara hukum, yang bertanggung jawab memenuhi hak asasi manusia, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Segala tindakan aparatus pemerintahan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Konstitusi, yaitu UUD Tahun 1945, merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam suatu negara, hal ini disebutkan
dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu konstitusi harus dipatuhi, lembaga peradilan pun semestinya tunduk pada amanah konstitusi.

D. DEMONSTRASI ADALAH PELAKSANAAN DEMOKRASI DAN DILINDUNGI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 28 UUD Tahun 1945 menjamin tentang kebebasan berpendapat. Hal ini juga nyata disebutkan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat dan ICCPR. Bahkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 7 tahun 2012, juga menyebutkan bahwa menangani demonstrasi tidak boleh melanggar HAM. Al tersebut merupakan perwujudan demokrasi yang berdasarkan hukum (constitucional democracy) yang mana mengandung 11 (sebelas) prinsip pokok diantaranya adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama, pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pruralitas, adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan utama, adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasar aturan, pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan.

Oleh karena itu, kami tidak melihat adanya bentuk pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan oleh Heri Gunawan dan Arwan Syahputra. Sebagai insan akademis, tindakan yang dilakukan Heri Gunawan dan Arwan Syahputra adalah perwujudan dari partisipasi masyarakat yang bertujuan untuk membentuk produk hukum yang responsif yang berarti of making many laws there is no end. Jika bagian dari proses partisipasi masyarakat dianggap “melawan pegawai negeri” sebagaimana Surat Tuntutan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara No. PDM-63/L.2.32/Eku2/12/2020.

E. POKOK-POKOK PIKIRAN AMICI

Pertama, penyampaian pendapat bukan pelanggaran hukum.

Surat Tuntutan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara No. PDM-63/L.2.32/Eku2/12/2020 halaman 2 pada paragraf terakhir bahwa omnibus law…dst. Bukan dalil yang dapat digunakan untuk menyatakan pelanggaran hukum., melainkan penyampaian pendapat yang mana, telah disebutkan pada huruf D.

Kedua, seorang individu tidak dapat dibebankan atas kesalahan yang tidak diperbuat.

Asas actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make guilty, unless the mind be guilty) “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld) terdapat dalam Pasal 6 dan 38 UU Kekuasaan Kehakiman. Bahwa kegiatan demontrasi tersebut melibatkan unsur mahasiswa yang berinteraksi dengan pihak keamanan. Interaksi tersebut tidak dilakukan oleh satu pihak semata, namun kedua belah pihak. Logika hukum yang tidak benar bahwa dampak hubungan tersebut dibebankan pada orator mahasiswa. Di sisi lain, Orator melakukan demonstrasi dilindungi UU, tidak meminta melempar si A, si B dst, bagaimana mungkin menjadi terdakwa atas hal yang tidak dilakukan. Seharusnya para penegak hukum jeli dalam melihat hal tersebut.

Ketiga, makna pekerjaan yang sah adalah pelarangan demonstrasi.

Pelarangan demonstrasi melanggar konstitusi, melanggar Undang-undang, melanggar peraturan kepolisian maka ‘sah’ tidaknya pekerjaan polisi tidak
ditunjukkan dengan surat penugasan semata, melainkan berdasar peraturan yang lebih tinggi. Asas Rechtmatigheid tidak boleh terlanggar. Oleh sebab itu dalil dakwaan dalam Surat Tuntutan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara No. PDM- 63/L.2.32/Eku2/12/2020 tidak berdasar karena tindakan sah kepolisian dalam aksi demonstrasi memiliki dasar hukum yang obscur.

Keempat, fakta di persidangan menunjukkan kejanggalan.

Saksi Daniel, menyatakan kepalanya luka koyak, bocor dan darah segar. Tentunya hal ini bertentangan, dalam kondisi demikian, ia dapat mengenali pelempar batu ataupun dapat menghitung jumlah 50 orang pelempar seperti yang dinyatakan dalam halaman 16. Perkiraan yang terdapat dalam halaman 20 tidak menunjukkan bukti yang jelas bahwa batu siapa yang sampai ke kepala Daniel berdasarkan keterangan Daniel.


Kelima, demonstrasi tidak membutuhkan perizinan dari kepolisian.

Pengaturan demonstrasi terdapat dalam UU No 9 Tahun 1998. Sebagai bagian dari hak asasi, demonstrasi wajib dipenuhi pemerintah, sebagaimana Pemerintah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pemberitahuan pada pihak lain atas terselenggarakannya hak bukan merupakan
keharusan.

F. PENUTUP

Tulisan ini kami persiapkan untuk memberikan informasi dan hasil kajian
akademis terhadap pokok permasalahan dalam kasus yang sedang diperiksa,. Kami berharap keterangan tertulis ini dapat diterima dan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara a quo.

Hormat Kami,

Koordinator KIKA Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H

Komentar