Menilik Hoaks dan kebebasan berpendapat

Sekarang ini tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar kata “Hoaks”.  kata tersebut sejak beberapa tahun terakhir memang sering kita dengar baik di media elektronik maupun online, surat kabar dan pemberitaan-pemberitaan di media lainnya. 

Jika kita melihat jauh ke belakang, ternyata hoax sudah masuk ke saluran sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439 silam. Di sisi lain menurut peneliti Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, hoaks sendiri merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang mulai masuk sejak era industri atau sekitar tahun 1808. Tetapi memang diyakini bahwa kata tersebut sudah muncul sejak ratusan tahun sebelumnya. 

Namun, di Indonesia sendiri hoaks sering muncul dalam suatu momen atau peristiwa tertentu, seperti saat masa kampanye pemilihan kepala negara/daerah ataupun peristiwa-peristiwa yang dianggap tidak biasa seperti fenomena alam dan kejadian-kejadian lainnya. Tentu saja tujuan dari dimunculkannya berita tersebut untuk menipu atau mengakali setiap orang yang mengkonsumsinya agar mempercayai sebuah narasi pada berita tersebut, padahal si pembuat hoaks tersebut juga tahu bahwa beritanya palsu alias sebuah kebohongan. 

Memang kita tahu berbicara mengenai penyebaran informasi berarti kita juga berbicara atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Tentunya hal ini seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi kita mengingat persoalan ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai dan memerlukan perjuangan panjang untuk merealisasikannya.

Namun, nampaknya yang terjadi pada kenyataannya justru malah sebaliknya, banyak permasalahan mengenai hal ini yang bermunculan dan seringkali berujung pada keributan di tengah masyarakat. Tentu semua itu diakibatkan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini, mereka jadikan ini sebagai topeng dan tameng untuk menyebarkan berita atau informasi yang tidak berdasar yang disebut hoaks tadi untuk menggiring opini publik. Hal ini tentu membuat keberadaan kebebasan berpendapat dan berekspresi seakan menjadi bumerang. Padahal tujuan awalnya untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik, justru malah masalah baru lahir dan semakin membuat rumit. 

Masalah ini sering muncul dan mudah kita jumpai di media sosial. Pesatnya arus informasi dan kemudahan akses teknologi informasi membuat masyarakat lebih mudah untuk mencari, membuat dan menerima informasi yang belum tentu kebenarannya tanpa menyaring dari mana sumber informasi tersebut. Nyatanya memang Indonesia merupakan salah satu negara paling demokratis di dunia, yang mana tentu kebebasan berpendapat setiap warganya pun telah diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap warga negara bebas menyampaikan aspirasinya selama masih dalam dalam koridor hukum dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah sosial masyarakat.

Jika diperhatikan, ada begitu banyak kejanggalan yang terjadi dalam hal ini. Mengapa hoaks masih saja dan terkesan mudah tersebar dimana-mana, tetapi kebebasan berpendapat justru semakin terancam?

Dari data Kemenkominfo mencatat sejak Agustus 2018 hingga April 2019 ada 1.731 hoaks yang menyebar lewat berbagai platform online, dengan jumlah kasus hoaks terbanyak pada April 2019 yaitu 486 hoaks. Hasil ini tentu sangat erat pada kenyataannya bahwa bulan tersebut merupakan bulan diselenggarakannya pemilu serentak di seluruh Indonesia. Juga kini di tengah semakin merebaknya pandemi Covid19 ternyata penyebaran hoaks tidak menunjukan tanda-tanda penurunan, tercatat hingga 5 Mei 2020 Kominfo menuturkan berdasarkan hasil pantauan Tim AIS Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, menunjukan 1.401 konten hoaks dan disinformasi Covid19 beredar di masyarakat.
 
Diantara dari kasus hoaks yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 tadi contohnya seperti kasus Corona di kabupaten Aceh Utara di kecamatan Syamtalira Bayu yang diindikasikan terjangkit covid 19 , namun karna pihak keluarga yakin jenazah almarhum tidak terindikasi Corona melainkan sudah lama mengidap suatu penyakit,maka pihak keluarga mengbumikan jenazah seperti biasa.
Kemudian setelah hasil uji swab dari Balitbangkes Kemenkes keluar dan hasilnya negatif.

 Tentu saja kita sudah sangat lelah mendengar hoaks yang terus bermunculan dari hari kehari, tetapi sayangnya oknum-oknum penyebar hoaks tersebut tidak akan semudah itu berhenti dan mengakhiri perbuatannya. Kita menduga ada unsur politis dalam merebaknya hoaks corona ini.
Maka perlu adanya tindakan serius dari pemerintahan untuk memberantas hoask untuk menjaga kestabilan negara.

*Moulizar adalah mahasiswa jurusan Ekonomi pembangunan fakultas ekonomi universitas Malikussaleh yang sedang mengikuti KKN PKP di bawah bimbingan Mutia Fonna, S.Pd., M.Pd.

Oleh : Moulizar

Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Malikussaleh

Sumber/Reverensi

  • Data Kominfo dari Agustus 2018 hingga April 2019 ada 1.731 hoaks.
  • Berita CNN Indonesia dan hasil swab dari Balitbangkes Kemenkes
  • hasil penelitian Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science

Komentar