Kediktatoran di hiasi wajah demokrasi dan konstitusi lalu penguasa mencari kekuasaan yang absolut untuk bisa melakukan langkah-langkah kesewenangan dengan mengatasnamakan hukum dan demokrasi.
Realita pahit, masyarakat Indonesia menerimanya di era reformasi ini, masih ada sikap dan tindakan kelakuan penguasa untuk mengerahkan aparatur hukum, untuk menangkap sebagian orang yang bersebrangan pandangan politik dengan penguasa.
Fakta dan realita yang terjadi di kehidupan berbangsa dan bernegara, hari ini sudah jauh dengan konsep dasar falsafah pancasila dan Undang- undang Dasar 1945.
Gerakan-gerakan Sangatlah masif cara kediktatoran dilakukan lewat landasan hukum yang mengatur, untuk mengelabui rakyat atas nama tindakan penguasa tidak melanggar konstitusional. Tapi malah sebaliknya telah melanggar konstitusional, alat penegakan hukum hari ini di gerakkan untuk menangkap para-para yang berseberangan politik dengan nya” untuk bisa di jadikan tersangka.
Yang perlu di ingat negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan di laksanakan menurut UUD, Fakta dan realita Negara hari ini sudah mengarah kearah otoritenisme:
1. Kalau memang HRS dan Anies melakukan pelanggaran terahdap pasal karantina kesehatan bagaimana dengan Gibran saat pencalonan menjadi wali kota Solo apakah tidak melakukan kerumunan.
2. Kalau memang HRS dan Anies di panggil untuk di mintai keterangan , kenapa juga tidak dengan Gibran ? Apakah ini bukan lah bentuk penyalahgunaan kekuasaan di dalam memerintah yang memang sesuai dengan amanah UUD 1945.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara mempunyai hak yang sama kedudukannya di dalam hukum. Makna dari equality before the law, dia tidak memandang pada anak presiden ataupun presiden sekaligus.
Anis berserta HRS ingin di jerat dengan pasal 93 apakah ini memunuhi usur delik dalam UU karantina kesehatan dan unsur ini juga tidak masuk pada unsur PSBB. Apakah ini tidak menunjukkan bahwasanya Negara tidak mengarah kearah otoriternya.
Secara fakta menujukan di saat pencalonan Gibran untuk menjadi calon walikota Solo yang di dampingi ribuan pendukung nya, tidak ada warga yang terpapar covid 19 disini artianya virus covid itu allhamdulilah tidak ada lagi.
Kedua setelah para simpatisan HRS yang menjumput di bandara dengan ribuan orang juga hadir ,tapi tidak terpapar juga dengan covid, dan pada sampai malam acara di rumah hbr apa ada satu orang yang megalami positif corona setelah berada dalam kerumunan nyata nya, tidak ada juga.
Disaat rakyat indoensia menayakan tentang persamaan hak di mata hukum lalu polri meminta rakyat jagan persamakan kasus kerumunan massa HRS tak disamakan dengan Pilkada Solo.
Atas stemen yang di keluarkan ini juga Menambah luka bagi hati rakyat, lalu aku pun bertanya pada hati bagimana negara yang kucintai ini yang telah mampu para -para pendahulu Megusir penjajah apakah negara ini bukan lagi milik rakyat !
Penulis berharap pemimpin Negara Indonesia kembali kepada amanat dasar UUD 1945 dan dasar falsafah Negara pancasila, karena yang dikhawatirkan, rakyat tidak mempercaya lagi terhadap aparatur Negara, apabila realita dan fakta hari ini, seperti kejadian ini terjadi “ hukum hanya menjadi alat pelindung penguasa dan bukan pelindung rakyat,dan penguasa hari ini bukan lagi memerintah sesuai amanat UUD dasar 1945.
Oleh : Muji Alfurqan
Mahasiswa Hukum Unimal dan juga Aktivis mahasiswa Aceh
Komentar