Penahanan IB HRS Terkait Penghasutan: Inikah Bukti Pemerintah Tidak Patuh pada Putusan MK?

Nanggroe.net, Jakarta | Hari ini Masyarakat di Indonesia di hebohkan dengan Penahanan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya terhadap HRS setelah dilakukan Penyelidikan dari tanggal 12 Desember 2020 kemarin, Nanggroe. Net kemudian meminta pandangan dari Pakar Hukum Masyarakat dan pancasila Prof. Suteki Menganai Penahanan HRS dalam perspektif Hukum.

Dalam keterangan nya kepada Nanggroe. Net Prof suteki menyampaikan, Minggu (13/12/2020) ” Sebagaimana kita ketahui, IB Harisy ditahan mulai tanggal 12/12/ 2020 karena dituduh melakukan delik penghasutan seperti diatur dalam Pasal 160 KUHP. Banyak para ahli hukum yang sudah menyampaikan pendapatnya bahwa delik itu merupakan delik materiil, artinya hanya bisa dituduhkan ketika akibat penghasutan berupa tindak pidana yang dilakukan oleh terhasut memang telah terjadi. Hal ini dikukuhkan dalam Putusan MK terhadap Uji Materiill atas Pasal 160 KUHP. Putusan itu tertuang dalam Putusan No. 7/PUU-VII/2009.

Persoalan yang diangkat dalam artikel singkat ini adalah, ketika MK sudah mengubah jenis delik Pasal 160 KUHP dari delik formil ke delik materiil, mengapa dalam menangani kasus IB Harisy Pemerintah, c.q. Kepolisian TIDAK MEMATUHI Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 tersebut?

Melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003, Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

(2) Dihapus.

Padahal, ketentuan dalam ayat 2 (UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU MK) itu berbunyi sbb:

“Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Apa artinya? Sebenarnya, ayat itu ada atau tidak seharusnya tidak memengaruhi pelaksanaan Putusan MK karena ayat itu hanya menyatakan soal “perubahan UU” bukan soal “pelaksanaan putusan MK”. Hanya, sebagian orang menangkap kesan bahwa percuma mengajukan JR ke MK karena ketika menang pun tidak ada kewajiban Presiden atau DPR untuk SEGERA MENINDAKLANJUTI putusan MK dalam melakukan perubahan atas UU yang diuji. Ataukah ada makna lain dari niat penghapusan ayat itu? Apa hidden agenda atas perubahan masif dari segala macam UU kita sekarang ini? Hanya Pemerintah dan DPR yang bisa menjawabnya.

Saya pun jadi agak pesimis, karena ada fakta bahwa telah terungkap dari penelitian tiga dosen Fakultas Hukum Trisakti terkait kepatuhan konstitusional atas pengujian undang-undang oleh MK pada 2019. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat 24 dari 109 putusan MK pada 2013-2018 atau 22,01% yang tidak dipatuhi oleh pemerintah. Sementara itu, 59 putusan atau 54,12% dipatuhi seluruhnya, 6 putusan atau 5,50% dipatuhi sebagian, dan 20 putusan lainnya atau 18,34% belum dapat diidentifikasi (katadata.co.id 28 Januari 2020). Jadi, terlalu berharap atas hasil JR MK mungkin terlalu berlebihan. Karena ternyata, semua tergantung dari political will Pemerintah.

Penahanan HRS dengan tuduhan melakukan tindakan pidana terkait penghasutan yang merupakan delik materiil patut diduga bahwa pemerintah c.q. kepolisian bertindak tidak patuh terhadap putusan MK No. 7/PUU-VII/2009. Dan sayangnya hingga saat ini, tidak ada sanksi yuridis yang dapat diberikan ketika lembaga adresat putusan MK membangkang amar putusan tersebut.

Akhirnya perlu ditekankan bahwa ketidakpatuhan pemerintah atas Putusan MK  telah sangat jelas menunjukkan bahwa keberadaan MK hingga saat ini belum mempunyai daya tawar yang kuat sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang mempunyai otoritas mengawal sekaligus menafsirkan konstitusi. Apalagi keberadaan MK memang tidak mempunyai ranah dan wewenang untuk ikut andil dalam proses implementasi atau eksekusi putusannya sendiri. Tidak salah apabila dikatakan bahwa MK merupakan cabang kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan yang paling lemah di antara cabang-cabang kekuasaan negara lainnya (the least dangerous power, with no purse nor sword) sebagaimana dikatakan oleh Alexander Hamilton. Jadi, memang semuanya kembali pada political Pemerintah. Kalau pemerintah mau, pihak lawan mau apa? Apalagi ketika kekuasaan legislstif dan yudikatif telah melebur ke dalam hegemoni eksekutif. Ambyarlah mantra-mantra agung demokrasi, khususnya tentang trias politica. Anda bisa apa selain meratapi nasib yang belum berpihak pada keadilan dan kebenaran (justice and truth).

” Jalan keluarnya hanya satu, kembali kepada ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA sebagaimana ditegaskan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 dan jika pejabat politik pemerintahan negara TIDAK MAMPU dan TIDAK LAGI DIPERCAYA RAKYAT, maka mereka harus SIAP MUNDUR. Oleh karena itulah, REVOLUSI AKHLAK adalah tuntutan impian besar yang sesunggunya tidak dapat ditawar (imperative cathegories)” Tutup Prof Suteki.

Komentar