Oleh: dr. Cut Nadia Rayyani
Nanggroe.net,|Simeulue – Pulau Simeulue atau Simalur merupakan pulau yang berada di barat Sumatera, Perairan Samudera Hindia. Letak geografis Simeulue yang terpisah dari Pulau Sumatera membuat pulau ini kurang familiar namanya. Pulau Simeulue berada kurang lebih 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh yang memiliki luas 2.051,48 km2. Di pulau ini berdiri pemerintahan Kabupaten Simeulue yang termasuk dalam Provinsi Aceh. Gugusan pulau ini berada diatas persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan Australia dan Samudera Hindia.
Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Syair Smong
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).
Pada tanggal 4 Januari 1907, gempa 7,6 SR disusul dengan tsunami pernah menghantam Simeulue yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda serta kehilangan keluarga dan sanak saudara dalam tragedi tersebut. Satu abad lebih setelahnya – tepatnya tragedi gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 juga memakan banyak korban jiwa, ratusan bahkan ribuan korban jiwa hilang terenggut tsunami yang terjadi sekitar pukul 09.00 WIB. Namun, saat itu di Pulau Simeulue hanya memakan enam korban jiwa, dibandingkan dengan bagian Aceh lainnya, ini merupakan ketimpangan yang sangat jauh.
Mengapa demikian? Ternyata masyarakat di pulau ini memiliki cerita (story telling) tersendiri tentang tsunami. Kisah tsunami (masyarakat Simeuleu menyebutnya “Smong”), diturunkan dalam sebuah budaya lokal masyarakat simeulue yang di sebut Nafi-nafi. Nafi-nafi merupakan budaya tutur kata masyarakat simeulu yang mengisahkan peristiwa sejarah di masa lampau. Nafi-nafi ini banyak mengadung pembelajaran dimasa lalu untuk dijadikan I’tiba dimasa depan. Banyak kisah berharga ini di turunkan kepada anak-anak pada waktu tertentu, seperti saat memanen hasil kebun, selepas shalat Magrib dan mengaji Alquran, serta tidak jarang Nafi-nafi ini diperdengarkan sebagai syair pendendang ayunan tidur pada bayi. Nafi-nafi tersebut sangat banyak dan beragam jumlah nya, salah satu adalah kisah yang menceritakan tentang smong.
Baca juga : Ayo Moms, Kenali Sindrom Baby Blues
Dalam masyarakat Simeulue Smong dikenal untuk sebutan gelombang laut besar yang menghantam suatu daerah setelah terjadinya gempa bumi yang dahsyat.
Istilah ini berasal dari bahasa Devayan yang merupakan bahasa asli masyarakat Simeulue. Sedangkan masyarakat yang tinggal di Desa Langi dan Lafakha yang terletak di barat daya Pulau Simeulue, menggunakan bahasa Lekon. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketiga penutur bahasa daerah tersebut dalam penyebutan Smong. Untuk Tsunami sendiri merupakan istilah global yang sudah akrab kita ketahui berasal dari Jepang.
Menurut Penelitian Alfi Rahman, 2018 – yang dipublikasikan pada International Journal of Disaster Risk Reduction memperlihatkan pengetahuan tentang Smong oleh masyarakat Simeulue menguat kembali setelah tahun 1907 hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari gelombang tsunami 2004.
Masyarakat Simelue tidak ingin bencana dahsyat tahun 1907 terulang kembali dan memakan jiwa. Melalui Nafi-nafi Smong tersebut masyarakat Simeulue sudah bersiap siaga dan paham membaca tanda-tanda alam untuk berhati-hati jika suatu hari, sewaktu-waktu smong datang kembali. Terbukti ketika tragedi gempa bumi dan tsunami yang menerjang Aceh sekitar pukul 09.00 WIB hanya memakan enam korban jiwa di Simeulue, sedangkan di dataran Aceh memakan ratusan ribu korban jiwa dan menghancurkan ribuan rumah penduduk.
Hal ini dikarenakan populasi masyarakat Simeulue yang tinggal beberapa meter dari tepi laut, langsung menyelamatkan diri. Semuanya secara bahu-membahu membawa anak-anak, orang tua, perempuan dan saudara mereka bergegas pergi ke gunung untuk menyelamatkan diri. “ Smong…smong…smong. Ayo lari…”. Begitulah sorakan para pemuda desa yang saling bersautan dan lari menyelamatkan diri ke atas gunung. Nafi-nafi Smong menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue dalam menghadapi tragedi tsunami 26 Desember 2004.
Baca juga : Licin, Terduga Pelaku Kasus Pelecehan Seksual di Lhokseumawe Sulit di Hubungi, Hingga Blokir Nomor Wartawan
Tidak hanya Nafi-nafi, cerita tentang smong ini juga dilantunkan dalam syair lagu. Sebagai pengingat ancaman terjadinya tragedi tsunami, bukan hanya lewat budaya tutur, namun ada juga syair (lagu) yang dilantunkan bercerita tentang smong. Tidak diketahui siapa pencipta syair ini, namun syair ini sudah dikenal se-antero Pulau Simeulue secara turun temurun. Bait syair ini sering dilantunkan para budayawan, tokoh adat dan seniman dari Simeulue. Bahkan, syair ini kini telah dipentaskan oleh anak – anak, agar tidak tergerus oleh zaman dan terlupakan.
Berikut lantunan syair smong tersebut:
Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).
Catatan Gempa
Pada tahun 2006, ditemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan ini secara eksplisit menyebut pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau 3 November 1832 Masehi. Hal ini didukung adanya beberapa catatan penjelajah Barat yang menyebut pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883. Kemungkinan, gempa terjadi di dua waktu yang berbeda.
Setahun sebelumnya, juga ditemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah yang ditulis anonim ini diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18. Di dalamnya, dipaparkan gempa bumi bisa terjadi dalam rentang waktu dari Subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan. Salah satu bagiannya menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut atau tsunami hingga ke daratan.
Selanjutnya, di dalam Kitab Ibrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh, Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul disebut, tsunami pernah terjadi pada 1324 Hijriah atau 1906 Masehi. Tsunami di Aceh juga disebut dalam ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909. Tertulis di situ, pada 1907, seluruh daerah pantai barat pernah dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat dan menelan banyak korban.
Tidak hanya melalui jejak geologis, berbagai catatan sejarah ini telah menjadi bukti gempa dan tsunami di Aceh. Melalui kisah diatas kita dapat belajar bahwa mitigasi bencana akan sangat efektif bila menggunakan pendekatan kearifan lokal (local wisdom), dan juga diperlukan penguatan berkelanjutan kepada generasi selanjutnya, yang belum pernah menyaksikan bencana tsunami atau bencana alam lainnya secara langsung.
*Penulis bertugas sebagai Dokter Intenship di Puskesmas Peulimbang, Kabupaten Biruen.
Komentar