Menyoroti Persoalan Penerapan Syariat Islam di Aceh Setelah Dua Dekade

Nanggroe.net | Langsa – Sejak zaman dahulu, Aceh telah dikenal sebagai masyarakat berkarakter Islam. Banyak kajian sejarah telah disepakati bahwa Aceh merupakan daerah pertapakan pertama agama Islam di Indonesia, yang kemudian berkembang ke wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara Meskipun belum ada yang bisa memastikan kapan Islam masuk ke Aceh, namun kerajaan Islam pertama di Indonesia ada di nanggroe ini, yaitu kerajaan Peureulak dan Samudera Pasai. Hingga kini, Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Syariat Islam dan Aceh sering diibaratkan dua sisi mata uang yang menyatu dan tidak mungkin dipisahkan.

Sejarah tentang masyarakat Aceh sering dikaitkan dengan sejarah perkembangan Islam di Aceh. Perang dan konflik panjang Aceh merupakan cerita tentang perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Perang dengan kolonialisme Belanda dan Jepang merupakan perang melawan “kafir” yang ingin menguasai Aceh dan menghilangkan khazanah keislaman yang sudah dijalankan sejak zaman kerajaan Aceh dibangun. Konflik panjang dengan pemerintah Republik Indonesia juga dimulai dengan kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak memberikan izin untuk menjalankan syariat Islam di Aceh. Meskipu banyak pro dan kontra di internal masyarakat Aceh sendiri terhadap konflik, tetapi masyarakat Aceh punya satu pandangan tentang pelaksanaan syariat Islam.

Salah satu peristiwa yang berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat Aceh adalah bencana tsunami. Bencana tsunami yang melanda Aceh akhir tahun 2004 tersebut, menjadi titik balik bagi masyarakat Aceh. Tsunami membawa banyak perubahan dalam
masyarakat. Diawali dengan perjanjian damai antara GAM dengan pemerintah RI, kurang lebih selama 8 bulan pasca Tsunami, kehidupan masyarakat Aceh semakin terbuka dan demokratis. Keterbukaan terhadap dunia luar pasca konflik, membuka ruang-ruang baru untuk merekonstruksi kembali identitas yang sudah terbentuk. Syariat Islam yang baru dibentuk beberapa tahun sebelum Tsunami dan menjadi identitas yang melekat pada masyarakat Aceh, ikut direkonstruksi ulang untuk bisa mengikuti keterbukaan dan perubahan masyarakat. Proses yang dimulai di tingkatan elit ini, melahirkan berbagai respon dari masyarakat, terutama masyarakat Kota Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh.

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah dilaksanakan masyarakat Aceh jauh sebelum syariat Islam itu diformalkan dalam aturan pemerintah.Elaborasi nilai-nilai Islam ke dalam adat dan budaya Aceh telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang religius. Pada saat syariat Islam digagas sebagai sebuah dasar bagi pemerintah untuk mengatur kehidupan Aceh, hal itu disambut hangat oleh masyarakat luas.

Baca juga :

Wabah Korupsi dan Tuduhan Terhadap Dayah ( Tanggapan atas Rita Khatir )

Muhammad Agil merupakan mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Langsa (IAIN) dalam program Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) yang di laksanakan di Gampong Sungai Pauh Kota Langsa Tahun 2021 ia mengatakan bahwa “menyikapi penerapan syariat Islam di Aceh Khususnya Kota Langsa untuk saat ini masih belum sempurna di terapkan, misalnya masih adanya masyarakat yang belum benar-benar melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari misalnya dengan budaya duduk-duduk, anak muda yang masih banyak memakai busana dengan standar Islam, dan adanya musik di tempat cafe-cafe. Jika memang ingin menerapkan syariat Islam di Aceh dan Kota Langsa kita berharap konsekuansi dalam menjalankannya”.

Hal serupa di sampaikan oleh Geuchik Gampong sungai Pauh beserta para staf nya menayampaikan dari hasil diskusi yang dilakukan “penerapan syariat islam hendaknya di laksanakan dengan secara kaffah apa pun itu bentuknya, sehingga aceh ada marwah dan martabat di mata dunia yang benar-benar menerapkan syariat Islam”.

Pada penerapannya, syariat Islam memang tidak terlepas dari unsur politis. Formalisasi syariat Islam yang terkandung dalam keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat, menjadi salah satu cara untuk meredam konflik di Aceh. Upaya ini merupakan salah satu bentuk langkah kongkrit dari kebijakan politik pemerintah pusat, meskipun oleh masyarakat hal itu tetap disambut dengan antusias.

Antusiasme masyarakat dalam menyikapi formalisasi syariat Islam sebagai produk hukum atau produk politik yang berfungsi mengatur kehidupan sosial masyarakat Aceh terlihat jelas pada awal mula penerapan syariat Islam sebelum Tsunami. Tetapi, seiring
perkembangan dan keterbukaan masyarakat Aceh dengan dunia internasional pasca Tsunami, banyak hal-hal yang mulai berkurang dalam pelaksanaan syariat Islam, terutama dalam hal konsistensi penerapannya oleh pihak pemerintah daerah. Ditambah lagi dengan dinamika politik yang terjadi pasca Tsunami dimana GAM memiliki keleluasaan dan kekuasaan di pemerintahan semakin memudarkan penerapan syariat Islam.

Penulis : Muhammad Agil mahasiswa IAIN Langsa Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Komentar