JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus gugatan UU Pemilu yang saat ini tengah disidangkan dalam waktu dekat. Itu, informasi yang didapatkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
SBY menyatakan tertarik dengan isu gugatan UU Pemilu, karena menyangkut sistem dalam Pemilu. Hal yang digugatkan, yakni perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
“Informasinya, Mahkamah Konstitusi akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan,” kata SBY dikutip dari akun Facebooknya, Sabtu (18/2).
SBY mempertanyakan apakah benar sebuah sistem Pemilu akan diubah dan diganti ketika proses Pemilu sudah dimulai sesuai dengan agenda dan “time-line” yang ditetapkan oleh KPU.
“Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?” tanya dia.
“Apakah saat ini, ketika proses Pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan,” lanjut SBY.
Penyempurnaan Sistem di Masa Tenang
SBY menjelaskan, mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa ‘tenang’, akan bagus jika dilakukan dengan berembung bersama, ketimbang mengambil jalan melakukan judicial review ke MK.
“Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup semata,” jelas SBY.
Sebab, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
SBY menjelaskan, mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa ‘tenang’, akan bagus jika dilakukan dengan berembung bersama, ketimbang mengambil jalan melakukan judicial review ke MK.
“Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup semata,” jelas SBY.
Sebab, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
“Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan,” ucap SBY.
“Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal,” kata dia.
“Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan ‘hajat hidup rakyat secara keseluruhan’,” jelas SBY.
SBY: Bagaimana Jika Putusannya Keliru?
SBY menjelaskan, perkara yang saat ini sedang berjalan di MK adalah masalah fundamental. Jangan sampai hakim MK sampai salah dalam mengambil keputusan.
“Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu “fundamental consensus” dalam perjalanan kita sebagai bangsa,” kata SBY.
“Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini,” lanjut dia.
Menurutnya, jika sebuah konstitusi, undang-undang dan juga sistem Pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah? Sebab sebagai bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya “what, why, how”.
Rakyat Harus Dilibatkan
SBY menuturkan, jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental seperti konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem Pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara dan perlu dilibatkan.
SBY mengatakan bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Semua pihak harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
“Mengatakan “itu urusan saya dan saya yang punya kuasa”, untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik “yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah”, tentu juga bukan pilihan kita,” ucap SBY.
“Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama,” ucap dia.
Hasto Sindir Balik SBY
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengomentari pernyataan SBY. Hasto menyindir SBY lupa soal perilakunya. Sebab, sistem pemilu yang tadinya tertutup diubah menjadi terbuka pada zaman SBY jelang pemilu pada 2008.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review,” kata Hasto di Lebak, Banten, Minggu (19/2).
“Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” imbuh dia.
Hasto melanjutkan, judicial review yang sekarang berbeda dengan yang dilakukan pada 2008. Menurutnya, apa pun keputusan MK mendatang terkait sistem pemilu bukan karena pengaruh parpol berkuasa.
“Judicial review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDIP juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review. Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada zaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa,” ungkap dia.
“Yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” tegas Hasto.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang dilakukan masa pemerintahan SBY membuat partai digerakkan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru terjadi pada masa beliau. Judicial review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” jelas Hasto.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” ucapnya.
Gugatan ke MK
Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 saat ini digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD. Mereka adalah:
Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP)
Yuwono Pintadi (anggota Nasdem tapi NasDem sebut sudah bukan anggota)
Fahrurrozi
Ibnu Rachman Jaya
Riyanto
Nono Marijono
Para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
“Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai,” ucap kuasa hukum pemohon, Sururudin.
Sistem terbuka juga dianggap membuat biaya politik sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg yang mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.
Setelah gugatan ini menjadi polemik, 8 partai politik yakni Golkar, Demokrat, PKB, NasDem, PKS, Gerindra, PAN, dan PPP menyatakan menolak Pemilu proporsional tertutup.
Bahkan NasDem dan PKS mengajukan diri menjadi pihak terkait dalam gugatan ini.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah tidak akan bersikap dalam gugatan ini. Pemerintah akan menunggu dan menjalankan putusan MK.
Sumber: Kumparan
Komentar