Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Ketika Hening malam saya mencoba untuk memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi hari-hari ini di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan saya adalah sampai kapan sistem ketidak warasan ini berlaku di republik ini? Pertanyaan ini bukan dramatisasi,tapi ini adalah bentuk keprihatinan yang timbul dari lubuk sanubari ini, sejujurnya saya tidak mau untuk terlalu banyak bicara masalah yang terjadi di republik ini lagi. Tetapi sebagai penghuni bumi ini, mau tidak mau ternyata harus juga untuk berbicara.
Rakyat menjadi tidak waras ,Karna atas demokrasi liberal, di mana semua orang dibebaskan dalam berbuat, bertanya dan memilih pemimpin. Jika kebebasan ini tidak dimaknai maka apalah gunanya negara ini didirikan, apalah gunanya perdamaian. Sementara negara ini kita dirikan atas dasar kesepakatan bersama sehingga terciptalah legitimasi sebuah negara yang dihimpun dalam konstitusi yang akan mengatur hak hak dan kewajiban.
Kontrak sosial ini sebagai bentuk usaha umat manusia agar ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Jikalau tidak maka terkam-menerkamlah manusia didunia ini, Karna tidak ada kesepakatan bersama sehingga individu-individu saling klaim membenarkan diri sebagai orang yang paling benar dan berkuasa semau-maunya. Begitu juga akhir-akhir ini, kelompok pemerintah dan kelompok masyarakat berseteru mengatas namakan kepentingan bersama, pemerintah tidak mau kalah masyarakat pun begitu juga dan yang lebih aneh nya lagi masyarakat bukan melihat dari kapasita dan kelayakan si calon pemimpin akan tetapi masyarakat lebih melihat dari isi tas si dicalon pemimpin,ini demokrasi liberal sehingga mempuan masyarakat kurang waras dalam memberikan hak atas memilih,”penjahat dijadikan pemimpin, pemimpin di tuduh penjahat”
Saya masih ingat apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes tentang manusia bahwa homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya), atas hal inilah tercipta suatu konsep kontrak sosial antara manusia dengan negara. Tikam menikam antar manusia sangat lah menjadi ciri khas bagi manusia itu sendiri, ada beberapa pemicu konflik dalam umat manusia secara pandangan antropologis yaitu competition, diffidence, glory (persaingan, curiga dan nafsu akan popularitas).
Itulah secara alamiah yang terkandung di dalam diri seorang manusia, maka jangan heran jika demokrasi hari ini memperlihatkan kepentingan sekelompok orang.
tetapi ingat bahwa machiavelli dalam karyanya yang berjudul “sang penguasa” pernah menulis bahwa politik tidak lebih dari pertempuran kekuasaan, demi kekuasaan segelintiran manusia yang ingin berkuasa rela mempertaruhkan dirinya untuk melawan “kesetian, dan kepercayaan, belarasa dan agama”. Karna hal itu maka seorang politikus dalam bertempur memiliki dua cara; pertama, bertempur dengan aturan atau konstitusi yang kedua, bertempur dengan senjata Mony politik, yang pertama disebut moral manusia dan kedua disebut moral binatang.
Tetapi yang pertama amat jarang untuk dilakukan yang sering dilakukan adalah yang kedua (moral binatang). Maka dengan kondisi dan situasi saat ini yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang berbudaya, haruslah memperhatikan langkah kaki kehidupan kita. Propaganda politik yang dipublikasikan oleh segelintir elite politik haruslah kita cermati terlebih dahulu ke validitasannya. Sehingga kita tidak mudah untuk diprovokatori oleh elit2 yang tidak bertanggung jawab dalam kestabilan keamanan dan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara di republik ini.
Dalam berpolitik, seorang politikus tidak akan kuat jika kita tidak terpropokator oleh propaganda politik yang di lancarkannya kepada masyarakat. Maka jika kita terprovokator berarti kita adalah orang2 yang memberikan kekuatan kepada segelintiran orang yang ingin berkuasa.
Ciri khas Dari seorang politik dalam merebut kekuasaan adalah memanfaatkan orang lain untuk mencapai kepentingannya agar mendapatkan kekuasaan.
“Cerdaslah dalam hidup, jangan pelihara kebodohan sebab kita hidup bukan untuk bodoh, tetapi untuk cerdas agar mengatakan mana yang baik dan mana yang tidak, jika sudah bisa membedakan baik dan buruk maka kebodohan telah tersingkirkan Dari kehidupan kita sebagai manusia yang terlahir sebagai “animal rasional” (berakal budi)”.
Cara satu-satunya untuk menghapus air Mata Atas ketidak warasan ini adalah setiap manusia haruslah hidup rukun (harmonis) agar persatuan dan kesatuan di Indonesia terjaga sampai akhir hayat kehidupan dan masyarakat harus lebih dewasa dalam kondisi politik demokrasi liberal ini atau negara harus hadir untuk menawarkan solusi baru Atas sistem keabelabelasan yang hari ini.
Muji Alfurqan
Komentar