Cengkraman Oligarki di Bumi Seuramo Meukah

NANGGROE .MEDIA | Aceh adalah sebuah daerah yang selalu memuja terhadap hukum-hukum syari’ah nya yang lebih jauh di perjuangkan dari pada prinsip berdemokrasi sehingga menjadikan prinsip dalam berpolitik dan memamerkan haluan ekonomi yang syari’ah seolah-olah tidak ada dalang di balik hukum-hukum yang sedang berlaku di Aceh.

Kita bisa saja menganggap bahwa secara ideal hukumnya sangat baik namun yang ingin kita maksudkan dalang yang memainkan hukum dan praktek hukumnya yang tidak sesuai dengan syari,ah nya.

Kita selalu memandang bahwa Aceh suatu haluan baik dalam polarisasi primordial nya yang menjalankan kaidah-kaidah yang mencetuskan hukum yang bersumber pada islam dan mengedepan kan kemakmuran secara menyeluruh, sehingga terkonsep lah tatanan yang baik hingga melaju kepada hilangnya beberapa budaya yang tidak menjadi landasan syari’at.

Kita harus jeli melihat suatu daerah yang sedang mempraktekkan oligarki namun di tutupi oleh hukum-hukum syar’i dan yang paling parah hukum-hukum islam di jadikan alat untuk memperkenalkan masyarakat agar bisa menjalankan kegiatan-kegiatan yang sedang di jalankan di Aceh.

Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan menuju mata air.

Dalam istilah Islam, syari’ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik, yakni nilai-nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap umat manusia, yang kemudian dijalankan dalam sehari-hari oleh sesama manusia dan dengan sang penciptaan nya, untuk menjadikan manusia kearah yang lebih baik dan mengedepankan nilai-nilai sebagai panutan hidup.

Dari pengertian secara etimologis ini, muncul pengertian secara terminologis bahwa syariah adalah jalan, aturan dan hukum yang diciptakan Allah SWT yang harus ditegakkan oleh manusia, sehingga merajut dan menjadikan jalan menuju kebaikan bersama dan batasan-batasan yang sedang di jalankan oleh manusia-manusia dalam memposisikan dirinya sebagai manusia yang beragama.

Di negara kesatuan republik Indonesia dewasa ini Aceh salah satu wilayah yang menganut hukum syari’ah sebagai aturan dasar dalam menjalankan roda pemerintahan nya setelah di tetapkan sebagai daerah otsus (otonomi khusus) yang di dasari perjuangan yang di pelopori oleh beberapa tokoh intelektual aceh yang pada akhirnya di tetapkan undang-undang no.11 tahun 2006 sebagai daerah otonomi khusus di Aceh.

Walaupun ada beberapa tokoh perjuangan AM (Aceh Merdeka) tidak sepakat dan tidak menerima sebuah perdamaian yang di cadangkan oleh negara Indonesia pada kesepakatan MOU (Memorendum Of Understanding) di Helsinki pada 15 agustus 2005 oleh dua pihak, dari GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), namun Aceh tetap di jalankan otsus tersebut sebagai alat peredam api yang membara di tanah Serambi Mekah.

Namun yang terjadi di aceh dalam prakteknya lebih parah dari yang di harapkan oleh alat perdamaian tersebut, dari segi ekonomi, Pendidikan, kesehatan, maritim dan lain sebagainya dan bahkan aceh makin terjerumus kedalam lembah kemiskinan misalnya kita melihat data yang di publikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Aceh sudah menjadi daerah termiskin dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera sejak 2002.

Pada tahun 2002 Aceh secara persentase penduduk miskin sebesar 29,83%, sampai hari ini aceh masih belum mampu mengeluarkan diri dari kemiskinannya.

Apa sebenarnya yang terjadi di aceh, padahal kalo kita lihat hukum yang berjalan di Aceh tidak akan menjadikan rakyatnya miskin berpuluh-puluh tahun lamanya, lalu apa yang menyebabkan Aceh sampai saat ini masih berlumuran dengan kemiskinan.

Seperti yang saya singgung di paragraf pertama tadi bahwa hukum di jadikan alat untuk melancarkan akal bulusnya kekuasaan di Aceh melalui tangan panjang oligarki nasional, dan di kendalinya taun-tuan tanah baru yang sangat kental terhadap dokma-dokma agama, sehingga terlalu lalai dalam ayunan yang di gerakkan oleh oligarki ini.

Kita inggin sampaikan bahwa masyarakat Aceh hari ini kurang sadar terhadap cengkraman oligarki yang terus menerus memperkuat diri di tanah Seuramoe Muekah.

Sedikit saya singgung soal Oligarki, secara epistimilogi oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu (olígos), berarti “sedikit” dan (arkho), berarti (mengatur atau memerintah ) dalam hal ini adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Apakah Aceh dalam hal ini bisa di katakan bahwa ada kelompok kecil yang mengatur semua persoalan di Aceh, iya, memang benar adanya segelintir kelompok kecil yang sedang menjadikan lintah darat di Aceh yang menghisap darah rakyat aceh dengan pelan-pelan.

Kelompok kecil yang memerintah dan memposisikan diri di balik sentral negara Indonesia inilah yang kemudian hampir puluhan tahun menikmati keuntungan dari segala sumber pendapatan dari hasil alam Aceh dan lain sebagainya.

Keuntungan ini kemudian di jadikan tempat yang di butuhkan oleh orang Aceh melalui ruang-ruang swasta dan mendukung regulasi dari anti tesis dari kemakmuran, namun apakah dalam hal ini akan terjadi kesejahteraan, tentu tidak, karna selama rakyat Aceh tidak memposisikan dirinya sebagai manusia yang sadar dalam tahap perjuangan kelas, memposisikan diri sebagai kaum yang tertindas, yang terhisap, yang terkurung dalam cengkraman tersebut, tidak mau bersatu padu dalam menetapkan musuh bersama yaitu oligarki.

Oligarki di Aceh selalu menjual isu-isu agama seperti saya sampaikan di atas tadi agama di jadikan alat politik yang seakan-akan membawa masyarakat Aceh kearah kemakmuran, kesejahteraan, padahal di balik itu mereka sedang menikmati dan menguras hasil bumi Aceh secara besar-besaran.

Lalu apakah kita masih berdiri pada tuhan yang memiskinkan hambanya, atau elit politik yang memiskinkan rakyatnya, bukankah rezeki hamba di atas hambanya, lalu kenapa hamba elit yang kita maksud dari golongan oligarki itu menguras rezki orang banyak, sehingga terjadi kemiskinan di mana-mana, kesengsaraan di mana-mana, kemelaratan di mana-mana.

Apakah rakyat Aceh juga berharap pada proses pemilu yang tidak terbuka dan tidak adil itu, pemilu sekarang omong kosong, jika tidak di luruskan atau tidak sesuai dengan azaz-azaz dasar dari pemilu, ya percuma saja pemilu itu di jalankan yang ada pergantian orang yang akan melanjutkan memperpanjang kemiskinan lagi dan menambahkan kemelaratan yang sangat panjang lagi.

Walau sebenarnya yang kita berharap bahwa dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun fakta hari ini malah sebaliknya proses pemilu di dekte oleh kekuasaan yang pada prinsipnya adalah meloloskan si pemodal dan diskriminatif partai-partai yang yang terhimpun dari rakyat akar rumput.

Hal yang perlu di lawan oleh masyarakat Aceh adalah oligarki yang sudah puluhan tahun menjadikan Aceh daerah yang miskin, dari pertanian, buruh, mahasiswa, pemuda, nelayan dan rakyat miskin kota harus bersatu padu dalam menjalankan pembaharuan Aceh secara menyeluruh, oligarki harus di runtuhkan dari tanah Seuramo Meukah.

Sekarang kita butuh pemimpin yang paham betul tentang Aceh dan sejarahnya, yang paham ekonomi kerakyatanya, berdaulat pada politiknya dan berprinsip kebudayaannya dan kepribadiannya.

Penulis : Naso

Komentar