Nanggroe.media | Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya mencatat bahwa dalam kurun waktu tiga bulan pertama tahun 2025, sedikitnya terdapat enam insiden serius yang melibatkan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia.
Menurutnya, rangkaian kejadian itu tidak bisa dianggap sepele karena merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers yang merupakan salah satu pondasi demokrasi.
“Hal ini ancaman serius bagi kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi,” kata Halimah dilansir dari laman hukumonline.com Selasa 08 April 2025.
Adapun insiden kekerasan pada jurnalis pertama, terjadi pada 27 Februari 2025, di mana jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mendapat ancaman langsung dari ajudan Panglima TNI. Kejadian ini menandai awal dari serangkaian peristiwa yang mengkhawatirkan terkait keselamatan jurnalis.
Selanjutnya, pada 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo menerima teror dalam bentuk kiriman kepala babi ke kantor Tempo. Tidak berhenti di situ, hanya berselang tiga hari, tepatnya 22 Maret, ia kembali menerima ancaman melalui pengiriman bangkai tikus.
Kemudian, pada tanggal 22 Maret 2025, tercatat kasus kekerasan paling berat, yaitu dugaan pembunuhan atau femisida terhadap seorang jurnalis perempuan berinisial J, yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Laut. Insiden mengerikan ini memperkuat kekhawatiran akan ancaman nyata terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
Beberapa pekan kemudian, pada tanggal 4 April 2025, seorang jurnalis berinisial SW ditemukan meninggal dunia di Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dalam kondisi yang masih diselidiki. Keesokan harinya, 5 April 2025 dilaporkan kembali telah terjadi tindakan kekerasan fisik berupa pemukulan serta pengancaman terhadap sejumlah jurnalis oleh ajudan Kapolri saat peliputan di Semarang.
Sejumlah insiden tersebut mencerminkan bentuk intimidasi sistematis terhadap profesi jurnalis, tak saja berdampak pada individu korban, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem kerja jurnalistik di Indonesia.
Insiden-insiden tersebut mencerminkan bentuk intimidasi sistematis terhadap profesi jurnalis, yang tidak hanya berdampak pada individu korban, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem kerja jurnalistik di Indonesia. Menurut Halimah, teror dan ancaman yang dialami jurnalis harus dilihat sebagai serangan terhadap kemerdekaan pers secara menyeluruh.
“Bukan sebatas ditujukan kepada pribadi wartawan yang menerima teror dan yang menerima ancaman,” ujarnya.
Halimah meminta aparat kepolisian untuk menangani kasus-kasus tersebut secara serius, transparan, dan menyeluruh. Ia menekankan sejumlah kejadian yang melibatkan anggota militer, seperti TNI, harus disidangkan melalui jalur peradilan umum, bukan militer untuk menjamin keadilan.
Khusus terhadap kasus yang melibatkan ajudan Panglima TNI dan Kapolri, Halimah berpendapat bahwa permintaan maaf tidak cukup. Ia menuntut pencopotan dari jabatan serta proses hukum terhadap para pelaku.
“Copot sebagai ajudan, dan lakukan tindak hukum,” katanya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, turut menyorot fenomena berulangnya kekerasan terhadap jurnalis. Nany menilai lemahnya penegakan hukum pidana menjadi penyebab utama tidak berkurangnya kekerasan terhadap jurnalis.
Ia mengungkapkan sistem hukum di Indonesia masih belum berpihak sepenuhnya kepada korban, sehingga banyak pelaku kekerasan tidak mendapatkan hukuman yang sepadan atau bahkan lolos dari jerat hukum.
“Kalau pun selesai, hukumannya dianggap ringan. Situasi ini saling terkait dan memperkuat kerentanan jurnalis dalam menjalankan tugasnya,” ucap dia.
Lebih jauh, Nany menyampaikan tidak sedikit jurnalis yang akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum dan menerima permintaan maaf dari pelaku karena merasa tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai. Padahal, sesuai Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap tindakan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran hukum dan harus diproses secara pidana.
“Undang-undang ini secara tegas melindungi kerja-kerja jurnalistik dari segala bentuk intimidasi dan kekerasan,” tambahnya.
Ia menekankan pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih menghargai dan melindungi peran jurnalis sebagai pilar demokrasi. AJI pun mendesak agar seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis yang telah dilaporkan segera diselesaikan melalui jalur hukum.
Senada dengan AJI, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengecam keras atas terus terjadinya kekerasan terhadap jurnalis. Menurutnya, kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya sekali dua kali terjadi, namun telah menjadi pola berulang yang sangat mengkhawatirkan.
“Komnas HAM mengecam kekerasan terhadap jurnalis dan ini terjadi keberulangan yang kesekian kali, padahal di dalam konstitusi dan UU HAM serta UU Pers, kebebasan pers itu dijamin sebagai bagian dari hak asasi dan kontribusi dalam menjaga demokrasi di Indonesia,” kata Anis.
Ia mendesak agar pelaku kekerasan terhadap jurnalis diproses hukum secara tegas untuk menghentikan siklus kekerasan dan teror yang terus terjadi terhadap insan pers. Langkah tegas ini, menurut Anis penting untuk memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut, dan bahwa demokrasi di Indonesia tetap terjaga.
“Kita mendorong agar semua pihak aparat penegak hukum, pemerintah menghormati menjamin dan melindungi kebebasan pers di Indonesia dalam menjalankan kerja-kerja jurnalisnya,” katanya.
Sumber : HukumOnline
Komentar