Gaya Juang Dan Re-Interpretasi Sumpah Mahasiswa Dalam Ganasnya Pandemi Covid-19

Sumpah Mahasiswa

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan.”
“Kami mahasiswa bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.”

Teks dan nilai sumpah mahasiswa tidak didapatkan oleh mahasiswa dalam ruang kelas, meskipun mahasiswa mendapatkan pembelajaran sosial (sosial) secara umum (ilmu sosiologi) namun terkhusus nilai sumpah mahasiswa itu tidak menjadi materi dikelas-kelas perguruan tinggi (PT).
Sebenarnya jika dimasukkan menjadi materi kemahasiswaan, akan lebih seksi cara bernegara ini.

Ada 3 bait kalimat dalam teks sumpah mahasiswa Indonesia menjadi batu pijakan mahasiswa dalam berjuang dan memperjuangkan kepentingan publik, baik dengan gaya juang kultural, maupun dengan gaya gerakan yang frontal.
Dalam bait sumpah mahasiswa ada 3 frasa penting yang menarik untuk dikaji ulang(Re-Interpretasi) beberapa kata tersebut terdiri atas.

1.​Tanah Air Tanpa Penindasan.

Dalam buku Merajut Kembali ke Indonesiaan Kita (2007) oleh Sultan Hamengku Buwono X, sikap cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan terhadap bangsa. Bahkan salah seorang ulama terkemuka Indonesia pada zamannya, dan sekaligus pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari menyebutkan Cinta terhadap negara bagian dari iman (hubbul Wathan minal iman).

Dalam memaknai cinta tanah air (nasionalis), tentu menginginkan hidup bernegara yang baik menjadi cita bersama.
Frasa ‘Tanpa Penindasan’ dalam teks sumpah mahasiswa menjadi lebih substansif, bahkan nilai dalam Pancasila itu sendiri barang tentu menginginkan adanya hidup makmur tanpa adanya penindasan.

Secara etimologi, penindasan berasal dari kata tindas, yang mempunyai beberapa kata turunan, seperti menindas,tertindas dsb.
Menurut KBBI V edisi Kemendikbud, Penindasan berarti proses, atau perbuatan menindas (memperlakukan dengan sewenang-wenang).
Imbas dari perbuatan sewenang-wenang ini (penindasan), berdampak terhadap semua sektor dan kalangan, baik itu masyarakat umumnya maupun mahasiswa.

Sebagai pemegang beban moral publik, dengan segala fungsi sosialnya, mahasiswa sangat lazim menepis keangkuhan kekuasaan, dan menyiku kekuasaan yang bernada congkak seoalah bertindak benar, namun penerapan jauh dari harapan. Atau dalam istilah ‘jauh panggang dari api’.

Penerapan perjuangan mahasiswa untuk memblokir penindasan dengan gaya mediasi maupun aksi menjadi tindakan moralitas yang sangat penting, untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat adil dan makmur.

  1. Bangsa Yang Gandrung Akan Keadilan

Menurut Bahder Johan Nasution dalam Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern (2014), Aristoteles menyatakan jika persamaan hak memang menjadi konsep keadilan.
Konsep persamaan hak tanpa perbedaan antara si miskin dan si kaya antara kaum komunal maupun kaum elitis, menjadi nilai keadilan itu sendiri, yang termaktub dalam sila ke-5 ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ dalam Pancasila.

Penerapan keadilan bagi masyarakat, tentu dilakukan melalui program dan kebijakan dari pemerintah selaku pemimpin yang sah secara administratif. Kebijakan untuk mencapai keadilan ini, tentu perlu dukungan publik melalui partisipasi publik.

Partisipasi publik, terbagi menjadi 2, partisipasi langsung maupun tidak langsung (Jurnal Syakwan Lubis, Partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik,). Namun cara yang sering digunakan mahasiswa pada era ini cenderung mengarah pada partisipasi tidak langsung, yang turut mengkritik dan memberikan masukan dari luar gedung pemerintahan.

Kata Gandrung/rindu akan keadilan menjadi harapan, bak kata cita kita mahasiswa dalam mendukung dan memperjuangkan keadilan sosial.
Memperjuangkan keadilan dengan cara dan adat mahasiswa, menjadi poin penting dalam ber-negara, tentu dengan cara kritik yang mendorong pembangunan bangsa yang baik.

Cara kritis ala mahasiswa ini lah yang mendongkrak pemerintah yang Arif dan bijaksana dalam membuat kebijakan yang adil, untuk tercapainya keadilan.
Konsep semacam ini, bersesuaian dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, membuat masyarakat menjadi manusia seutuhnya (Rahardjo, 2012: 68).

3.Bahasa Tanpa Kebohongan

Kebohongan jika dibiarkan akan terus-terusan, barangkali akan mendapatkan posisi lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri.
Didalam buku Jalaluddin Rahmat (Rekayasa sosial/Reksos) kebohongan yang terorganisir akan menang melawan kebenaran yang tidak terorganisasi. Atau lebih mudahnya, kebohongan yang dilakukan secara berulang-ulang akan dianggap menjadi suatu kebenaran.
Inilah pentingnya eksistensi mahasiswa dalam berekspresi melawan bahasa kebohongan kekuasaan (dalam artian dirinya juga harus berdiri di kebenaran). Posisi mahasiswa di era ini, harus lebih aktif dalam memberikan interupsi/sanggahan terhadap bahasa pemimpin yang mengelabui publik, seoalah itu kebenaran itu sendiri. Peran ini akan menjadi tangkisan, agar kebohongan tak mendapatkan ruang untuk dilakukan berulang-ulang.

Refleksi Sumpah Mahasiswa Dan Ganasnya Pandemi Covid-19

Realiasasi sumpah mahasiswa Indonesia terhadap pandemi covid-19 ini sangat relevan, karena dengan sumpah yang pernah diucapkannya atau yang selalu digaungkan, tentu penting di implementasikan terhadap permasalahan bangsa termasuk masalah pandemi Covid-19 dengan segala penanggulangannya.

Pandemi Covid-19 telah terjadi ditahun silam hingga sampai saat ini. Bahkan karena ganasnya Covid-19 berdampak disegala lini kehidupan, termasuk di sektor pendidikan yang mengharuskan daring, sektor ekonomi yang banyak pendapatan masyarakat menurun, bahkan tak jarang adanya PHK massal berlangsung, akibat produksi perusahaan menurun dan buruh menjadi imbasnya, bahkan lebih tragis lagi, kebutuhan rohani kehambaan pun sebagian daerah menjadi terhalang, karena adanya larangan kerumunan, yang berdampak ibadah berjamaah menjadi terhambat.
Tentu masalah ini menjadi atensi kita semua dalam menanggulanginya.

Mahasiswa dengan merekat padanya sumpah mahasiswa, telah menjadi kewajiban dalam mendukung pemulihan nasional dengan gaya juang kemahasiswaannya.
Alangkah berdosanya mahasiswa , saat diam saja terhadap masalah bangsa saat ini.
Bahkan menurut Jalaludin Rakhmat, dosa itu sendiri terbagi 2 jenis, yakni dosa individual dan dosa sosial.

Jika manusia tidak ibadah dan tidak laksanakan perintah Tuhan tentu ia berdosa pada Tuhannya, inilah bagian dari dosa individual, namun saat ia diam terhadap masalah masalah sekitar kemasyarkatan termasuk bangsa, tentu ia melanggar dosa sosial, dan berdosa terhadap masyarakat. Kalau dalam bahasa Munir aktivis HAM dan pendiri KontraS, Berani sholat maka beranilah berpihak pada yang miskin (tanggung jawab sosial).

Landasan ini menjadi cambuk bagi mahasiswa dengan sikap kritisnya mendorong penanggulangan Covid 19, dan memberikan masukan terhadap pemerintah, apalagi suasana PPKM diperpanjang hingga 9 Agustus 2021, yang membuat rakyat kecil perih dan menangis, karena aktivitas perekonomiannya dibatasi.

Suasana Covid 19 ini, seharusnya menjadi panggung perjuangan bagi mahasiswa, dimasa ini tampak jelas ada atau tidaknya kehadiran mahasiswa dalam mendukung pemulihan nasional dari pandemi Covid-19, dengan gaya dan cara-caranya sendiri.

Kita perlu apresiasi terhadap mahasiswa yang masih dalam rel perjuangannya, lakukan aksi demonstrasi mengkritisi pemerintah hari ini, namun tetaplah menjadi pemain yang profesional yang tak perlu diberi kartu kuning maupun merah.

Dimasa ini, langkah awal yang apresiatif, bagaimana caranya mahasiswa menjaga diri diinternal kemahasiswaannya agar terhindar dari Covid-19 dan tetap mentaati protokol kesehatan, dan juga peka terhadap permasalahan sosial yang menjadi bukti kritisisme nya tak pudar apalagi hilang.

Sebagai manusia yang lahir sebagai individu, hidup dimasyarakat dan kembali menjadi individu, sikap dan prinsip individualitas mahasiswa sangat penting jika bermanfaat untuk sekitar, seperti halnya, memperhatikan masalah masyarakat disektor ekonomi contohnya, mendukung pemberdayaan UMKM masyarakat, dan menjawab masalah mata pencaharian masyarakat, dengan memperkenalkan kekayaan desa atau daerah diruang publik.

Sebenarnya penulis sepakat, kritik harus dibarengi dengan solusi, tapi dengan jalan 2 arah. Kritik kita berikan terhadap pemangku kepentingan dan kebijakan publik (pemerintah), namun solusi kita berikan langsung kepada masyarakat. Konsep semacam ini kita sebut sebagai perlawanan dan cinta kasih, siapa yang harus diberi perlawanan dan siapa yang perlu dicinta dan dikasihi, sehingga langkah perjuangan mahasiswa masuk dalam tahap keseimbangan.

Ikhtiar mahasiswa sangat dibutuhkan dalam pandemi ini, namun ikhtiar yang mana yang dimaksud? tentu ikhtiari mahasiswa dengan segala sikap keikhlasan/rela.

Bekerja dengan ikhlas hanya tercipta apabila tidak ada paksaan, akan tetapi didorong oleh kemauan yang murni, bebas memilih, sehingga pekerjaan itu betul-betul dilakukan sejalan dengan hati nurani, (Dr Azahari Akmal Tarigan, Tafsir Tema besar nilai dasar perjuangan, hal 127). Seperti tidak fanatik terhadap kemauan senioritas pun menjadi nilai keikhlasan itu sendiri, karena dengan kemauan murninya, mahasiswa perlu mengkaji tiap jenis arahan bahkan intruksi terhadap langkah yang perlu dilakukan, termasuk dalam pandemi ini, dengan memperhatikan goals terhadap cita perjuangan itu sendiri.

Stratak perjuangan mahasiswa di era pandemi Covid-19 ini, tentu harus lebih arif dan bijaksana, bagaimana caranya hadir dalam gerakan dan menyelesaikan masalah tanpa harus membuat masalah baru, dengan metode kapan harus melawan, kapan harus bertahan, dan kapan harus tiarap sejenak namun bukan arti balik kanan. Karena pada esensinya, tidak ada kebebasan kemanusiaan yang bersifat absolute, tiap-tiap kebebasan kita dibatasi dengan hadirnya kebebasan orang lain.

Komentar