JAKARTA | Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta karena bersalah dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua dalam sidang pembacaan putusan, Senin, (13/2/2023).
“Menjatuhkan hukuman terhadap Ferdy Sambo dengan pidana mati,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan putusan, Senin, 13 Februari 2023.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup karena keyakinan berperang Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Dalam perkara perintangan penyidikan pembunuhan itu, Ferdy Sambo juga menilai jaksa mengajukan pelanggaran Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Propam Polri yang menyandang dua bintang di pundaknya, menuntut jaksa karena dianggap sebagai otak pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2023.
Berdasarkan keterangan Richard Eliezer , eksekutor yang menjadi kolaborator keadilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menyebut Ferdy Sambo menyampaikan rencana pembunuhan di lantai tiga rumah pribad Sambo dan Putri di Jalan Saguling 3, Jakarta Selatan, pada hari yang sama beberapa jam sebelum pembunuhan. Rumah ini hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari pembunuhan TKP.
Di lantai tiga rumah Saguling, Richard mengaku Ferdy Sambo memerintahkannya menembak Yosua setelah Ricky Rizal menolak perintah itu. Sambo menyampaikan skenario tembak-menembak setelah Yosua melecehkan Putri Candrawathi.
Ferdy Sambo bahkan memberikan kotak amunisi 9 milimeter untuk Glock-17 miliknya dan menentukan lokasi pembunuhan.
Richard juga mengatakan Putri Candrawathi juga berada di samping Ferdy Sambo saat membeberkan rencana. Terlebih lagi, dia sempat mendengar Putri menyinggung soal CCTV dan sarung tangan.
“Memang kurang ajar anak itu! Sudah menghina Saya! Dia sudah menghina harkat martabat saya! Tidak ada kegunaan pangkat ini,” kata Richard sambil menirukan kata-kata atasannya yang sambol memegang tanda pangkat di kerahnya.
Ferdy Sambo kemudian menyampaikan perintah ke Richard agar dia membunuh Yosua. Sebab, kata dia, kalau dia sendiri yang membunuh tidak akan ada yang membela. Ferdy Sambo pun menyampaikan rencananya.
“Jadi gini Chad, lokasinya di 46 (rumah dinas). Nanti di 46 itu Ibu dilecehkan oleh Yosua, terus Ibu teriak kamu respon, terus Yosua ketahuan. Yosua tembak kamu, kamu tembak balik Yosua, Yosua yang meninggal,” kata Richard menirukan perintah Ferdy Sambo saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 13 Desember 2022.
Richard mengatakan saat itu Ferdy Sambo menyampaikan perintahnya dengan jelas dan memastikan Putri Candrawati mendengarnya. Kemudian Ferdy menjelaskan kembali skenarionya dan menguatkan Richard.
“Sudah kamu enggak usah takut karena posisi itu pertama kamu bela Ibu. Yang kedua kamu bela diri karena dia nembak duluan,” kata Richard mengulang omongan Ferdy Sambo.
Richard mengaku Putri Candrawhati saat sempat berbicara dengan Ferdy Sambo. Meski terdengar samar, Richard mengaku mendengar Putri merasakan soal CCTV dan sarung tangan.
Richard bahkan melihat Ferdy Sambo sudah mengenakan sarung tangan hitam dan memberikannya sekotak amunisi 9 milimeter, serta memerintahkannya mengisi amunisi pistol Glock-17 miliknya.
Para korban bersama korban lalu pergi ke rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, dengan alibi isolasi mandiri untuk Covid-19.
Eksekusi Yosua berlangsung antara pukul 17.11-17.16 ketika Ferdy Sambo tiba di rumah dinas Kompleks Polri Duren Tiga. Ferdy Sambo memerintahkan Kuat untuk memanggil Yosua ke dalam saat ia berada di taman belakang. Tiba-tiba, Ferdy Sambo memegangi leher belakang Yosua dan mendorongnya hingga berada di depan tangga lantai satu.
Yosua berhadapan dengan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer, sementara Kuat Ma’ruf berada di belakang Ferdy Sambo dan Ricky Rizal bersiaga apabila Yosua melawan. Kuat Ma’ruf juga menyiapkan pisau yang ia bawa dari Magelang untuk berjaga-jaga jika Yosua melawan.
Sedangkan Putri Candrawathi berada di kamar lantai satu yang hanya berjarak tiga meter dari posisi Brigadir J.
Dalam bantahannya, Ferdy Sambo tidak pernah menyuruh Richard membunuh. Ia mengatakan hanya meminta Richard untuk menghajar Yosua karena ia meminta konfirmasi soal perselingkuhan kepada Yosua.
Ia juga membantah menembak ikut Yosua dan hanya menembak tembok dan bordes tanggap untuk skenario tembak-menembak. Hal ini, kata Sambo, ia lakukan untuk menyelamatkan Richard.
Namun skenario tembak menembak itu runtuh ketika barang bukti penting, yakni rekaman CCTV pos pengamanan Kompleks Polri Duren Tiga terungkap.
Video itu memperlihatkan Yosua masih hidup dan berada di taman saat Ferdy Sambo tiba di rumah dinasnya. Rekaman Yosua masih hidup itu menganulir semua keterangan Ferdy Sambo yang disebarkan ke rekan-rekan kepolisiannya.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, anggota kepolisian yang terseret dalam kasus ini hampir mencapai seratus orang. Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut jumlah personel Polri yang diperiksa terkait kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J mencapai 97 orang.
“Kami telah memeriksa 97 orang, 35 orang diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi,” ujar Kapolri saat rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Rabu, 24 Agustus 2022.
Ia merinci 35 personel yang memblok kode etik berasal dari berbagai pangkat, di antaranya, Irjen Pol 1 orang, Brigjen Pol 3 orang, Kombes Pol 6 orang, Kemudian AKBP 7 orang, Kompol 4 orang, AKP 5, Iptu 2, Ipda 1, Bripka 1, Brigadir 1, Briptu 2, Bharada 2.
Adapun ada enam anggota kepolisian dari Divisi Propam hingga reserse yang saat ini sedang menunggu vonis masalah perintangan penyelidikan pembunuhan berencana Yosua.
Mereka adalah mantan jenderal bintang satu bawahan langsung Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan; eks Komisaris Besar Agus Nur Patria; eks Ajun Komisaris Besar Arif Rachman Arifin; eks Komisaris Polisi Chuck Putranto dan Baiquni Wibowo, dan mantan Ajun Komisaris Polisi peraih Adhi Makayasa Akademi Kepolisian angkatan 2010, Irfan Widyanto.
Dari keterangan para terdakwa dan ahli-ahli yang dihadirkan dalam perkara ini, enam mantan anggota Polri ini bisa terjerat kasus Ferdy Sambo karena budaya hierarki dan tatanan komando yang kuat di tubuh Polri sehingga terpaksa terjebak dalam hubungan kuasa Ferdy Sambo, yang saat itu melibatkan Kadiv Propam Polri yang merupakan jabatan disegani dan ditakuti oleh anggota kepolisian.
Sumber : Tempo.co
Komentar