ACEH, NANGGROE.MEDIA – Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menyoroti dugaan praktik korupsi dalam program praktik Oplos Pertamax yang menyebabkan kerugian negara serta merugikan masyarakat.
Dugaan ini mencerminkan lemahnya pengawasan serta potensi penyalahgunaan distribusi energi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat.
Menyikapi tanggapan Pertamina yang menjamin bahwa Pertamax yang beredar tidak oplosan, DEM Aceh menilai bahwa pernyataan tersebut harus didukung dengan bukti nyata melalui hasil uji laboratorium secara terbuka.
Pernyataan tanpa disertai pembuktian hanya akan memperkuat keraguan masyarakat terhadap kualitas BBM yang beredar di SPBU.
“Harus ada pengujian dengan melibatkan ahli independen untuk mengambil sampel dari beberapa SPBU dan memastikan bahwa Pertamax yang dijual benar-benar sesuai dengan spesifikasinya, dan dipaparkan ke masyarakat agar citra Pertamina dipercaya. Pertamina tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan bantahan. Langkah konkret harus dilakukan demi menjaga kepercayaan masyarakat,” tegas Amar Wahyu Putra, Bendahara DEM Aceh.
Temuan penyidik menunjukkan bahwa sebenarnya yang dibeli adalah BBM RON 90 atau lebih rendah. RON 90 ini kemudian di-blending di penyimpanan/depo untuk menjadi RON 92. Praktik ini menurut penyidik tidak diperbolehkan dan menjadi indikasi kuat adanya pelanggaran dalam distribusi BBM.
DEM Aceh menekankan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi energi, terutama bahan bakar bersubsidi, adalah prinsip fundamental yang harus dijaga. Setiap bentuk penyelewengan akan berdampak langsung pada masyarakat, terutama kelompok yang paling membutuhkan.
Hal serupa disampaikan oleh Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda. DEM Aceh mendorong Pertamina untuk segera mengambil langkah konkret dalam memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat Aceh.
Sebagai satu-satunya penyedia layanan SPBU di Aceh, Pertamina memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan kualitas BBM yang beredar memenuhi standar dan bebas dari praktik oplosan.
“Kepercayaan publik merupakan aset penting yang harus dijaga, dan hal tersebut hanya dapat diraih melalui transparansi, pengawasan ketat, serta komunikasi terbuka kepada masyarakat. Uji laboratorium independen, sosialisasi aktif, dan peningkatan pengawasan di seluruh lini distribusi menjadi langkah penting yang harus segera direalisasikan,” ungkap Faizar Rianda.
Oknum yang diduga terlibat dalam praktik ini adalah pihak Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina yang bertanggung jawab dalam distribusi BBM.
Keterlibatan oknum dari Patra Niaga semakin memperburuk citra Pertamina di mata masyarakat, mengingat perusahaan tersebut memiliki peran vital dalam menjaga kualitas dan kuantitas BBM di seluruh Indonesia.
Dugaan praktik oplosan antara Pertalite dan Pertamax yang dilakukan oleh oknum ini memperkuat asumsi masyarakat bahwa kualitas BBM yang beredar tidak sesuai dengan standar yang dijanjikan.
Meskipun tindakan ini dilakukan oleh segelintir oknum, dampaknya berpotensi merusak citra Pertamina secara keseluruhan
Hingga hari ini, masyarakat masih berasumsi bahwa BBM jenis Pertamax yang beredar di pasaran merupakan hasil oplosan dari Pertalite dan Pertamax.
Asumsi ini semakin berkembang karena minimnya langkah konkret dari Pertamina dalam membuktikan kualitas BBM melalui uji laboratorium independen.
Transparansi dalam pengelolaan BBM menjadi hal mendesak yang harus segera dilakukan agar kepercayaan masyarakat dapat kembali pulih, dan distribusi energi berjalan sesuai prinsip keadilan.
DEM Aceh meminta DPR-RI mengusulkan kepada Presiden agar Pertamina diawasi langsung oleh Presiden. Langkah ini diharapkan mampu memotong rantai komunikasi serta meminimalisir praktik korupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Seperti diketahui sebelumnya, kasus dugaan korupsi di PT Pertamina yang diungkap oleh Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun pada tahun 2023, bahkan berpotensi membengkak hingga Rp 968,5 triliun selama periode 2018-2023, menjadi bukti nyata betapa seriusnya persoalan ini.
Praktik penyelewengan ini dianggap tidak hanya merugikan negara, tetapi juga memperburuk ketidakadilan dalam distribusi energi bagi masyarakat kecil yang berhak menerima subsidi.
“Pengujian BBM di setiap SPBU dengan melibatkan laboratorium independen serta demonstrasi langsung di hadapan masyarakat merupakan langkah konkret yang harus dilakukan Pertamina. Ini adalah bentuk tanggung jawab dalam memastikan masyarakat mendapatkan BBM berkualitas sesuai dengan haknya,” tutup Amar Wahyu Putra.
Komentar