Nanggroe.net, Bener Meriah | Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) menggelar pengabdian kepada masyarakat dengan kegiatan penyuluhan hukum tentang Qanun Nomor 9 Tahun 2008, pada Selasa, (15/9).
Hal itu dalam rangka Penguatan Lembaga Adat dan penyelesaian sengketa masyarakat Aceh, Kegiatan itu berlangsung di Kampung Muyang Kute Mangku, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah.
Tim penyuluhan hukum dikoordinir oleh Dr. T. Nazaruddin, SH, M.Hum, Narasumber Tengku Hamdani, MA, Dr. Sulaiman, SH., M.Hum, Harun, SH., M.H, Dr. Budi Bahresi, SH, MH, panitia Iskandar, S.Ag, MA.
Baca Juga : Fakultas Hukum Unimal Menggelar Sosialisasi MBKB
Serta didampingi oleh Salihin mahasiswa dan Yusrizal, SH, MH, Rosnawati, SH dan Tiwi Mardiana, SH, alumni fakultas hukum Unimal. Diikuti oleh Reje (Kepala Desa), Imem, Tuha Peut serta perangkat Kampung Muyang Kute Mangku lainnya.
Menurut salah seorang narasumber, Hamdani, S.Ag, MA, proses penyelesaian sengketa perkara atau persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat oleh lembaga adat yang dilakukan dengan pendekatan musyawarah dan bertujuan damai.
“Peradilan adat adalah peradilan damai yang dilaksanakan di luar sistem peradilan nasional berdasarkan undang-undang dan aturan khusus yang berlaku; Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, menentukan tentang kewenangan mekanisme adat untuk menyelesaikan 18 jenis sengketa/konflik di masyarakat,” paparnya.
Baca Juga : Dosen FH Unimal Melakukan Pengabdian dan Sosialisasi di Gampong Pande
Lanjutnya, Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, menegaskan lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
“Peradilan adat didasari pada ajaran menyelesaikan bukan pada ajaran memutuskan, yang berpendirian setiap perselisihan harus diputuskan secara tegas, jelas, dan pasti. Sehingga masalah kerukunan dan keseimbagan hidup bermasyarakat kurang menjadi perhatian,” ujarnya.
Dasar hukum juga didasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat dan SKB Gubernur Aceh, Kapolda Aceh dan Ketua MAA Nomor 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011, B/121/1/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
“Tujuan peradilan adat, nyang ceuko tapeujeureuneh (yang kotor kita jernihkan), nyang tabeu tapeumameh (yang tawar kita maniskan) dan nyan rayek tapeuubeut, nyang ubeut tapeugadoh (masalah yang besar kita perkecil dan yang kecil kita hilangkan)” katanya.
Kemudian, Dr. Sulaiman, SH, M.Hum menambahkan bahwa aparat penegak hukum harus memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain. Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) Qanun Aceh No.9/2008.
“Sidang adat dilaksanakan jika mediasi dan lobi tidak berhasil dilakukan dan tidak ada kesepakatan dari para pihak yang berkonflik”, ujarnya.
Laporan : Manzahari
Komentar