Nanggroe.net, Jakarta | Ketua Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI), Safaruddin, meminta Presiden Joko Widodo mencopot Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas karena melanggar peraturan Perundang-undangan.
Peraturan yang di langar tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh dimana dalam Pasal 90 huruf b dan c disebutkan pada saat terbentuknya BPMA, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi antara Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang berlokasi di Aceh dialihkan kepada BPMA dan pada saat terbentuknya BPMA, kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada huruf b antara Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan pihak lain dialihkan kepada BPMA, Minggu, (2/5/2021).
Namun sampai saat ini, SKK Migas dan Kementerian ESDM tidak mengalihkan kontrak Pertamina dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang sekarang berubah menjadi SKK Migas pada tahun 2005 silam yang seharusnya tiga blok migas yang di kelola oleh Pertamina di Aceh yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 1 dengan luas wilayah lebih kurang 4.392 Km persegi, NAD -2 seluas 1.865 Km persegi, East Aceh seluas 76,93 Km persegi dan Perlak sekitar 10 Km persegi sejak tahun 2015 sudah di alihkan kontraknya ke BPMA. Pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah ini perlu menjadi perhatian serius Presiden Jokowi, selain menunjukkan ketidak taatan pada hukum juga bias di anggap mengabaikan perintah Presiden.
“jika instansi pembantu Presiden saja tidak taat pada peraturan perundangan bagaimana hukum akan tegak dan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah akan tumbuh, ini perlu menjadi atensi dan ketegasan Presiden Jokowi agar semua instansi di negeri ini melaksanakan tugas dan kewenangannnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan” kata Safar.
Baca Juga:
Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggeraan pengelolaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dalam pasal 4 disebutkan Menteri ESDM sebagai Komisi Pengawas bertugas: memberikan persetujuan terhadap usulan kebijakan strategis dan rencana kerja SKK Migas dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, melakukan pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan operasional SKK Migas dalam penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Atas dasar kewenangan tersebut seharusnya Menteri ESDM melakukan evaluasi terhadap kontrak kerja Pertamina dengan SKK Migas sejak berlakunya PP 23 tahun 2015. JARI bahkan sudah pernah mengirimkan somasi kepada SKK Migas dan Kementerian ESDM pada 12/3 lalu meminta untuk dilakukan koreksi atas kontrak kerja Pertamina dengan SKK Migas dengan mengeluarkan blok di Aceh karena sesuai dengan PP 23/2015 harus berkontrak dengan BPMA namun tidak mendapat tanggapan dari SKK Migas dan Menetri ESDM.
“Menteri ESDM dan SKK Migas sudah kami somasi pada maret lalu meminta untuk menyesuaikan kontrak kerja Pertamina dengan SKK Migas harus di koreksi/addendum pada wilayah blok migas Aceh, karena dengan di tandatanganinya PP 23 tahun 2015 oleh Presiden Jokowi maka seluruh blok migas yang ada di Aceh harus berkontrak dengan BPMA, dan itu wajib di laksanakan oleh SKK Migas dan Kemeterian ESDM, namun sampai sekarang Kementerian dan SKK Migas masih mengabaikan perintah Presiden Jokowi sebagaimana dalam PP 23/2015, oleh karena itu sangat berbahaya jika orang yang di tempatkan oleh Presiden untuk membantunya melakukan pembangkangan terhadap perintah Presiden, dan sudah selayaknya Presiden mencari orang yang taat pada konstitusi dalam melaksanakan tugas yang di berikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan” tutup safar.
Komentar