Nanggroe.net, Lhokseumawe | SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat) Lhokseumawe melakukan aksi protes kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe aksi Protes tersebut di nilai Sejak setahun yang lalu setelah pertama kalinya pemerintah kota Lhokseumawe dikejutkan dengan hadirnya “Raport merah” sampai sekarang tanggal 18 Maret 2021 belum ada perubahan yang signifikan didalam Tubuh Pemkot Lhokseumawe, (18/03).
Padahal kurun waktu tersebut tidaklah singkat yang sebenarnya bisa dilakukan perubahan yang akan menyentuh lapisan terbawah masyarakat kota Lhokseumawe.
Dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Lhokseumawe setiap tahunnya mengalami penurunan. Sedangkan dalam perjalanannya, pemerintah kota Lhokseumawe telah melahirkan kebijakan seperti Pembangunan Pasar dan proyek tanggul laut (Batu gajah), namun hal itu juga tidak bisa menepis fakta bahwa pemerintah kota Lhokseumawe hari ini telah gagal dalam menjalankan tugasnya.
Baca Juga :
KPW-SMUR Menilai Pemkop Lhokseumawe Telah Gagal Dalam Mensejahterakan Masyarakat Nya
Risky Nanda yang merupakan Ketua KPW-SMUR Lhokseumawe menilai Kelalaian pemerintah kota Lhokseumawe saat ini dibawah kuasa Suaidi Yahya dan Yusuf Muhammad, dimana masyarakat hanya menjadi penonton saja dan tidak mendapatkan peningkatan kualitas hidup.
Begitupun juga dengan pemerintah provinsi Aceh yang dinilai telah gagal dalam mensejahterakan Para petani, dimana konflik agraria masih menyelimuti Aceh, setelah sebelumnya sempat ada pembahasan tentang rancangan qanun (Perda) pertanahan yang dinilai akan menjadi titik terang.
“Terhadap permasalahan tersebut, namun setelah beberapa tahun berlalu dan pembahasan tentang rancangan qanun tersebut tidak pernah selesai, pemerintah Aceh terkhususnya DPRA hari ini lalai akan tugasnya dalam memberikan kesejahteraan dan kenyamanan terhadap petani,” Ungkap Risky
Lanjut Risky “Sebagaimana yang kita ketahui konflik agraria masihlah meletus di beberapa kabupaten di Aceh, menurut data yang kami peroleh dari YLBHI-LBH Banda Aceh, Luas konflik agraria di Aceh mencakup 5.420,5 hektar yang meletus di empat kabupaten yaitu Bireun, Aceh Tamiang, Abdya dan Nagan raya. Konflik terjadi antara warga Gampong paya Rahat, Teuku tinggi, tanjung lipat I dan II versus PT Rapala di Aceh Tamiang ; Gampong Krueng simpo vc PT syaukat sejahtera di bireun ; Gampong Pante cermin versus PT dua perkasa lestari di Abdya ; dan Gampong cot me versus PT fajar baizury di Nagan raya,”. Terangnya.
Baca Juga :
Pendemo Serukan Mosi Tidak Percaya Kepada Cek Mad
Konflik agraria di Aceh berdampak pada 4.080 jiwa. sebanyak 57 orang tercatat sebagai korban kriminalisasi. Dari 57 orang tersebut 34 diantaranya dipidana dengan tuduhan memasuki dan menduduki pekarangan orang lain tanpa izin, dan 23 orang lagi jadi tersangka dengan tuduhan serupa.
Padahal dengan adanya qanun pertanahan tersebut, akan menjadi Lex spesialis untuk masalah pertanahan. Qanun pertanahan sendiri sejatinya merupakan realisasi dari salah satu poin nota kesepahaman (MoU Helsinki) serta amanat undang-undang pemerintah Aceh (UUPA), seperti yang disebutkan dalam bab khusus tentang pertanahan pasal 213 dan 214.
Rancangan qanun pertanahan sendiri sebelumnya sudah masuk kedalam prolega (program legislasi Aceh) pada tahun 2020. Draf raqan (rancangan qanun) itu terdiri dari sebelas bab dan 165 pasal. Diantaranya mengatur tentang kewenangan pemerintah Aceh dalam hal perizinan dan hak guna usaha (HGU) dan pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan serta penyelesaian sengketa pertanahan secara adil dan merata.
Lalu kemudian tentang permasalahan pelanggaran HAM yang masih belum terselesaikan baik di Aceh sendiri maupun di Papua yang sekarang ini sedang terjadi konflik, ini menandakan pemerintah pusat tidak serius dalam menangani kasus HAM, padahal Indonesia sendiri menganut 2 dari 4 konvensi Jenewa.
Kami menilai bahwa negara hari ini dapat dikatakan sebagai the failed state (Negara gagal), karena negara hari ini tau tentang adanya pelanggaran HAM, negara mampu untuk menyelesaikannya namun negara tidak mau untuk menyelesaikan kasus kasus pelanggaran HAM tersebut.
Dan yang terakhir sebagai solidaritas kemanusiaan internasional, kami melihat akan pelanggaran kemanusiaan yang telah terjadi di Myanmar, masyarakat sipil yang menggelar aksi demonstrasi mendapatkan tindakan represif dari militer negara tersebut hingga hari ini sudah memakan puluhan korban dan penangkapan Masyarakat sipil hingga ribuan orang.
Oleh karena itu, kami Komite Pimpinan Wilayah Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (KPW-SMUR lhokseumawe) meminta kepada pihak yang terkait untuk segera menyelesaikan permasalahan yang telah kami sebutkan di atas tadi, jika tidak maka hari ini pemerintah telah menabur angin yang suatu saat akan menuai badai!.
Komentar