Menulusuri Jejak jejak perjuangan HAM Munir

Nanggroe.net, Aceh Utara | “Hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan bahasa universal dan setara yang melampaui ras, gender, sekat-sekat etnik atau agama. Itulah jalan di mana kita berada di pintu gerbang untuk berdialog bersama dengan semua orang dari berbagai kelompok sosial dan ideologi.” (Munir, 1965-2004)

Pernah di tawar Kursi Parlement, ada seseorang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berusaha menawarkan kursi parlemen kepada Munir.

Nanggroe net – Hari ini, 16 tahun lalu, Munir Said Thalib mengembuskan nafas terakhirnya setelah diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004.

Hingga detik ini, belum ada titik terang mengenai kasus Munir, termasuk siapa pembunuhnya.

Mengenang Munir, tak bisa dilepaskan dari sepak terjang semasa hidupnya.

Munir dan perjuangannya untuk hak asasi manusia.

Sejarah telah mencatat kegigihannya dalam memperjuangkan yang lemah dan hidup dalam kesederhanaan.

Kasus Tragedi Tanjung Priok

Munir pernah menjadi penasihat hukum keluarga korban tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 1984.

Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu pelanggaran berat HAM yang dialami oleh para demonstran yang menolak penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang diusulkan
oleh Presiden Soeharto.

Pemberitaan Harian Kompas, 14 September 1984, menyebutkan, sebanyak 24 orang tewas dan 55 orang luka-luka akibat tindakan aparat kemanan yang membubarkan paksa para demonstran dengan tembakan timah panas.

Kasus Marsinah

Marsinah merupakan aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan meninggal dunia pada 1993.

Setelah menghilang selama tiga hari, mayatnya ditemukan di hutan yang berlokasi di Dusun Jegong, Desa Wilangan, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dalam kasus ini, Munir bersama para aktivis HAM melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 5 September 2014.

Bersama aktivis lainnya, Munir melakukan advokasi dan investigasi terhadap kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang diduga dilakukan aparat militer.

Munir ditunjuk menjadi salah seorang pengacara untuk kasus Marsinah.

Kasus Penculikan 1997-1998

Dalam kasus penculikan yang terjadi pada 1997-1998, ada 24 orang yang menjadi korban dalam peristiwa itu.

Sebanyak 13 orang hingga kini masih hilang.

Di tengah kerumitan kasus penculikan itu, Munir hadir bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan tampil di depan publik untuk menyuarakan pengungkapan kasus itu.

Ia secara tegas mendesak agar negara bertanggung jawab atas peristiwa penculikan.

Munir juga menjadi penasihat hukum korban dan keluarga korban penculikan tersebut.

Munir bersama Kontras lantang bersuara sehingga membuat sembilan aktivis dilepaskan.

Kiprahnya dalam mengungkap kasus orang hilang ini menjadi sorotan banyak pihak.

Kasus lainnya

Tiga kasus tersebut hanya sebagian kecil dari lembaran sejarah perjuangan Munir dalam memperjuangkan HAM.

Di luar itu, banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang menjadi perhatian serius Munir.

Kasus-kasus itu di antaranya, tragedi Trisakti, kerusuhan Mei, Semanggi, Talangsari Lampung, Timor Leste, Papua, Aceh, Ambon, dan Poso.

Dalam perjalanannya, Munir kerap mendapatkan intimidasi dan ancaman.

Bahkan, rumahnya di Batu, Malang pernah dipasang bom oleh orang tak dikenal.

Pernah menolak tawaran kursi parlemen

Pemberitaan Harian Kompas, 6 September 2013, menyebutkan, ada seseorang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berusaha menawarkan kursi parlemen kepada Munir.

Syaratnya, Munir tak boleh meributkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru.

Namun, Munir menolak tawaran tersebut.

Bukan hal sulit bagi Munir untuk menjadi seseorang yang memiliki kekayaan secara materi.

Akan tetapi, ia lebih memilih hidup sederhana dan berkendara sepeda motor untuk melangkah dan memperjuangkan kemanusiaan semasa hidupnya.

Komentar