Nanggroe.net, Aceh Utara | Banjir yang mengepung sejumlah Wilayah Aceh Utara dan sekitarnya pada akhir tahun 2020 ternyata menghadirkan ragam polemik. Tak hanya menimbulkan kerugian materi, kesehatan dan jiwa, namun kita juga diperlihatkan atraksi komunikasi publik di media sosial dari para Netizen yang “menggemaskan” dan diperkeruh dengan “sirkus” opini-opini media online dan media sosial yang cenderung terpolarisasi dan cenderung mencemaskan publik.
Bukan lagi ruang berpolemik tentang program mana yang paling unggul untuk mengatasi banjir, dan melihat persoalan banjir bukan hanya sebatas musibah saja
Di saat banjir telah menimbulkan kerusakan, kita justru diperlihatkan adanya narasi silang pendapat antar Netizen di Media Sosial. Di satu sisi publik menilai pemerintah daerah belum melakukan normalisasi maksimal Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureutoe (Krueng Peutoe) dan Krueng Pase.
Di pihak berbeda, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menjadikan program Normalisasi sebagai solusi untuk mengatasi banjir di Kabupaten Aceh Utara hanya sebatas saat Kampanye saja. Problemnya, konsep Normalisasi membutuhkan lahan lebar di kanan kiri sungai yang tentu akan terkendala dengan dengan Anggaran yang sangat besar.
Dari janji ”menjinakkan” air yang dimiliki oleh pemerintah daerah Aceh Utara terlihat jelas bahwa belum dapat dibuktikan saat terucapkan disaat kampanye dulu. Publik mendefinisikan dalam konteks ini adalah hanya janji belaka, rakyat yang harusnya mendapatkan janji, cepat dan tepat bukan dibanjiri oleh janji dan program yang tak pernah terwujud.
Harapan masyarakat Aceh Utara sangat sederhana. Di saat musibah banjir terjadi, hal yang dibutuhkan pada dasarnya sikap peduli dan komunikasi yang penuh respect (menghargai) dan empati. Inilah prasyarat penting yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Secara sederhana mungkin yang dibutuhkan warga juga cukup simpel terhadap elitnya, “Lihat dan bantu tenangkan kami dari musibah, serta cepat benahi sungai.”
Ketika musibah banjir telah terjadi, narasi-narasi tentang program bukan menjadi hal utama yang harusnya dikemukakan.
Toh, secara fakta banjir telah terjadi dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat. Artinya, untuk menjalin komunikasi yang efektif seharusnya pemerintah daerah tidak lagi saling berpolemik tentang program apa yang paling baik untuk mengatasi banjir.
Jika semua ini bisa dilakukan dengan sigap, maka inilah bentuk mitigasi yang sesungguhnya. Ingatlah pepatah bijak bahwa hanya keledai yang selalu terjatuh di lubang yang sama. Tentu kita tidak menginginkan elite-elite mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.
Ke depan, kita butuh para pemimpin yang bisa menyerap keluhan dan masalah di masyarakat yang tidak tersampaikan. Bukan menjadikan kiblat kebijakannya pada suara-suara netizens yang sekarang ini sudah terlanjur terpolarisasi pilihan politiknya.
Jadi, mari jadikan musibah banjir ini sebagai ruang bersama untuk saling berefleksi dan memulai kerja lebih keras lagi. Bukan lagi ruang berpolemik tentang program mana yang paling unggul untuk mengatasi banjir, dan melihat persoalan banjir bukan hanya sebatas musibah saja, namun juga ketidak mampuan kita dalam mengelola tata ruang sungai dan Drainase di Aceh Utara, mau tidak mau kita harus mengakui itu.
Wawancara Ekslusif bersama Zulfikri, A.Md.Kes
Praktisi Kesehatan di Aceh Utara
Komentar