Nanggroe.net | Peningkatan angka positif Covid 19 memang mengkhawatirkan, Aceh sendiri berdasarkan data dipublikasi angka postif mencapai 11589 orang, sembuh 9864 dan meninggal dunia 462 orang. Kalau kita petakan dalam persentase sekitar 3.98 % yang meninggal dari total yang positif. Pun dengan angka kesembuhan sangat tinggi mencapai 85.1 % dari total positif. Artinya tingkat kesembuhan jauh sangat tinggi dibandingkan dengan yang meninggal akibat Covid 19.
Berdasarkan analisa sederhana itu, kita berharap pemerintah Aceh merubah pendekatan dalam mengendalikan Covid 19 dari pelarangan peroperasian angkutan antar kota se Aceh per 7 mei 2021 ini, kependekatan pendataan yang lebih maslahat semua pihak dengan tetap mengkedepankan metode preventif dan promotif. Maksudnya, masyarakat yang ingin pulang kampung dibiarkan saja, namun kabupaten dan gampoeng masing – masing memperkuat pendataan mereka yang travelling seperti tahun sebelumnya.
Dari pada dihalangi pulang kampung, memungkinkan meningkat stress baik dari yang diperantauan maupun yang di kampung. Boleh jadi kebijakan seperti ini malah dapat menambah orang meninggal akibat yang tidak bisa bersilaturami. Misalkan, ada ibu yang rindu anaknya, anaknya tidak bisa pulang karna kebijakan yang kurang mengkedepankan maslahat, kemudian ibunya naik darah dan meninggal, siapa yang bertanggung jawab?
Belum lagi persoalan pendapatan dari sopir – sopir angkutan umum itu, orang yang berkerja diperusahaan besar dapat THR, yang kerja dipemerintah dapat THR, nah mereka kalau tidak beroperasi dapat uang dari mana. Secara dilapangan momentum meugang, idul fitri dan idul adha adalah momen para sopir untuk dapat uang lebih ketimbang waktu – waktu lain yang sepi. Hal ini bias dicroscek dilapangan.
Untuk itu ada beberapa solusi yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam upaya memberikan kenyamanan kepada masyarakat, disisi lain tetap menerapkan upaya mencegah penyebaran Covid 19. Karna kalau kita analisa betul, kebijakan pemerintah selama ini tidak totalitas macam orang terkejut saja. Saya sendiri meragukan pemerintah Kabupaten/Kota menyampaikan data real Covid 19.
Kalau benar – benar ada upaya untuk melacak covid 19 mereka bisa melakukan dengan pelacakan massal, tapi kan tidak ada, hanya kabupaten/kota tertentu saja. Solusi berikut ini bisa menjadi bahan pertimbangan.
Pemerintah kabupaten/kota menempatkan kembali petugasnya diperbatasan.
Pemerintah Aceh dan kabupaten/Kota dalam melakukan pencatatan dan pengujian sederhana dan terintegrasi di perbatasan seperti yang dilakukan tahun lalu. Program ini jauh lebih bijak dan tidak merugikan masyarakat ketimbang melarang orang pulang kampung yang dampaknya bukan masalah jiwa saja, tapi juga ekonomi masyarakat.
Kalau kita lihat, program pengujian diperbatasan tahun lalu tidak rugi – rugi kali, ada banyak data yang didapat sehingga dalam melahirkan kebijakan preventif. Harusnya instansi kesehatan masyarakat mulai dari Dinas Kesehatan, puskesmas, Puskesmas pembantu hingga polindes digiatkan kembali seperti tahun lalu.
Uji Covid 19 dengan menggunakan instrument GeNose
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota harusnya sudah menggunakan produk GeNose hasil karya peneliti UGM yang lumayan akurat, cepat dan ekonomis. Harganya pun terjangkau sehingga jikapun masyarakat dibebani paling hanya Rp. 10.000 – 15000/ orang. Dan penempatan uji ini bisa dilakukan di pos perbatasan sehingga jauh lebih akurat ketimbang hanya cek suhu dan rapid test. Dan ini bisa menjadi jalan tengah dengan masyarakat dapat memenuhi hajat silaturahminya, Covid 19 juga bisa dicegah sebarannya.
Perkuat Relawan Gampoeng
Sudah diketahui secara umum, bahwa di Gampoeng-gampoeng telah dibentuk relawan dari tahun lalu, pemerintah Gampoeng dengan berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dapat menghidupkan dan memperkuat kembali para relawan yang sudah dibentuk jauh-jauh hari.
Tugaskan aja relawan gampoeng masing – masing gampoeng melacak warganya yang baru pulang kampong. Itu jauh lebih baik ketimbang kebijakan dibebankan kepada masyarakat sebagai objek utama, dan itu sangat merugikan masyarakat serta jauh dari maslahat.
Sediakan anggaran Untuk kehidupan warga jika Tetap dipaksa tidak Boleh pulang kampung, pemerintah wajib memberikan kompenasasi kepada masyarakat yang dikarantina di kota mereka tinggal, penuhi kebutuhan para awak angkutan yang dirugikan dengan kebijakan ikut-ikutan ini dan yang pasti siap bertanggung jawab jika ada yang dirugikan secara kejiwaan akibat kebijakan ini. Tentu kita tidak berharap masyarakat protes berkerumunan dengan bermalam di pendopo Gubernur, kantor Gubernur atau Kantor DPR Aceh.
Kami para pemuda Syarikat Islam Aceh yang tergabung dalam PW PMI aceh memiliki harapannya bahwa DPR Aceh dapat menyuarakan persoalan ini dan duduk kembali dengan Pemerintah Aceh, membahas kebijakan ini sehingga ada solusi yang kebih baik untuk masyarakat dan Pemerintah tentunya.
Penulis : Dr (Cn). Yulizar kasma, S.KM,. M.Si (Ketua PW Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Aceh)
Komentar