Soal Batas Wilayah Aceh, YARA Surati Kementerian Hukum dan HAM

BANDA ACEH | Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menyorot soal frasa “sesuai ketentuan 1 Juli 1956” yang ditambah dalam revisi UUPA pasal 3 tentang Batas Wilayah Aceh.

Safruddin,S.H selaku ketua YARA mengatakan bahwa ‘ketentuan 1 Juli 1956’ disinyalir tidak memiliki peta batas Aceh yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami sudah surati Lembaga Wali Nanggroe, DPRA melalui Partai Aceh, BPN, Kementrian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, dan mempertanyakan dimana peta 1 Juli 1956, tidak ada yang punya. Kalau tidak ada yang punya, bagaimana kita bisa sepakati batas Aceh itu. Gak ada peta nya,” Ujar Safruddin Kamis, (23/3/2023).

Untuk itu, YARA juga menyarankan kepada DPRA agar tidak perlu memasukkan kalimat-kalimat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan nantinya.

“Lain cerita jika DPRA sudah punya peta Aceh 1 Juli 1956 sekarang, namun berdasarkan surat yang kami terima dari DPRA tahun 2021 bahwa DPRA tidak menguasai peta tersebut,” ucapnya.

Safaruddin mengaku, soal batas wilayah Aceh memang tercantum dalam MoU Helsinki pada angka 1.1.4 melalui ‘ketentuan 1 Juli 1956’. Akan tetapi, sambungnya, soal ketentuan soal 1 Juli 1956 ini harus di breakdown kembali, dan ditemukan bagaimana landasan historis serta yuridisnya.

“Sekarang peta nya gak ada. Oke lah secara historis kita dapat menemukan melalui prasasti-prasasti tentang batas wilayah Aceh. Tapi itu kan masih membutuhkan pendekatan untuk memastikan soal ini. Karena kalau ini dibawa ke pusat, pasti ditanyakan. Jadi hanya menambah waktu perdebatan saja,” jelas dia.

Ia berharap, para pihak yang terlibat dalam proses penyusunan draft revisi UUPA ini agar fokus pada penguatan kewenangan yang memiliki orientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh dan kemaslahatan umat.

“Untuk apa kita minta wilayah sampai ke Riau misalnya, tapi kita gak mampu mewujudkan soal kesejahteraan. Dengan cakupan 23 Kabupaten/kota yang sudah ada saat ini, kita masih juara 1 termiskin se Sumatera. Jadi gak usah memiliki nafsu besar, tapi kemampuan tidak ada,” ujar Safaruddin.

“Kami terus mendorong agar draft yang disosialisasikan oleh DPRA ini bisa menampung seluruh aspirasi masyarakat Aceh sehingga ketentuan-ketentuan dalam perubahan UU 11/2006 ini bisa bertahan dalam waktu yang lama,” tambah dia.

Bendera Aceh

Saat disinggung soal kewenangan terhadap bendera, Safaruddin mengaku belum membaca secara detil draft perubahan UUPA yang memuat persoalan tersebut.

Pun demikian, kata Safaruddin, Aceh memiliki kewenangan untuk membuat bendera daerah yang dituangkan melalui Qanun. Hanya saja, terdapat sejumlah ketentuan yang membatasi beberapa norma, diantaranya tidak boleh menyamai bendera separatis, dan sebagainya.

“Kebetulan Qanun bendera yang dibuat itu kan menyerupai menurut pusat. Tapi ini kan masih dalam tahapan negosiasi,” jelas dia.

Mengomentari hal tersebut, ia menilai belum ada titik temu antara pusat dan Aceh dalam memaknai perspektif kebangsaan.

“Reintegrasi nya belum tuntas secara psikologis, walaupun secara fisik sudah. Pusat belum sepenuhnya percaya reintegrasi telah terlaksana dengan baik di Aceh. Begitu juga dengan Aceh, reintegrasi sepertinya masih ada ganjalan-ganjalan,” terang Safaruddin.

Ia menegaskan sebaiknya Aceh dan Jakarta tidak terjebak pada ‘keegoisan’ simbol semata, karena dinilai tidak memiliki relasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.

“Apakah misalnya, jika bendera itu disetujui pemerintah pusat akan berdampak pada kesejahteraan rakyat? Begitu juga sebaliknya, dirubah bendera itu sesuai keinginan pusat, apakah akan memberi perubahan pada kualitas kesejahteraan masyarakat Aceh? Gak juga kan, sama aja keduanya. Itu hanya akan menghabiskan energi, yang harusnya energi itu dapat kita arahkan untuk membahas soal pembangunan dan kesejahteraan,” tutup Safruddin, S.H

Komentar