Nanggroe.net, Jakarta | pemangkasan minyak yang dilakukan oleh Negara-negara pengekspor Minyak (OPEC) yang di pimpin oleh Negara Arab Saudi bersama Rusia dan juga beberapa negara lainnya yang disebut dalam organisasi OPEC di pertengahan bulan April lalu menyisakan cerita tersendiri.
Presiden Amerika Serikat mengancam akan penarikan militer AS dari Arab Saudi jika OPEC tidak mau memangkas Produksi minyaknya.
Menurut situs laporan khusus Reuters, Presiden Donald Trump, diketahui memberikan ultimatum kepada Putra Mahkota kerajaan Arab Saudi Mohammed Bin Salman (MBS), bahwa ia tidak akan berusaha menghentikan anggota parlemen Amerika Serikat dari pelolosan UU untuk penarikan pasukan AS dari Arab Saudi, kecuali OPEC mulai memangkas produksi minyaknya.
Baca Juga: Panas! Kapal Perang AS Terobos Laut China Selatan, China Ngamuk
Ultimatum AS tersebut dilakukan presiden Trump pada tanggal 2 April, atau 10 hari sebelum Saydi mengumumkan OPEC sepakar memangkas produksi minyak mentahnya sebesar 9,7 juta barel perhari, atau sekitar 10 % dari total supply minyak mentah global.
Hal ini juga diungkapkan oleh empat sumber Reuters lainnya yang mengetahui dengan persoalan ini. Ultimatum presiden Trump tersebut hingga dituruti oleh Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman. Hingga putra kerajaan Arab Saudi tersebut menunjukkan betapa pentingnya hubungan kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan kaya minyak tersebut.
Reuters juga melaporkan, bahwa saat ini ada sekitar 300.000 tentara Amerika Serikat (AS) di Arab Saudi. Dan jalur ekspor minyak di Arab Saudi juga dilindungi oleh Armada kelima Angkatan Laut AS(NAVY).
Baca Juga: Tangan Kapitalisme AS Cari Cuan Ditengah Pandemi Corona
Hubungan antara Amerika Serikat dan Arab Saudi sudah terjalin sejak tahun 1945, tepatnya saat Presiden AS Franklin D Roosevelt bertemu dengan Raja Pertama Arab Saudi Abdul Aziz bin Saud. Saat itu hubungan kedua negara tersebut melahirkan kesepakatan Amerika Serikat akan melindungin Arab Saudi dan sebagai gantinya negeri Paman sam ini memiliki akses ke cadangan minyak mentah Arab Saudi.
Negara Arab Saudi bergantung pada persenjataan militer juga kehadiran pasukan Amerika Serikat untuk menghadapi rival-rivalnya di Timur Tengah. Bukti kerentenan keamanan Arab Saudi juga terlihat pada bulan September tahun lalu, ketika drone menyerang ladang minyak terbesar Arab Saudi di Hijra Khurais dan juga fasilitas pemprosesan minyak mentah di dunia di Abqaiq. Serangan itu dilakukan pada hari sabtu (14/9/2019) pagi sekitar pukul 04:00 waktu setempat.
Serangan yang terjadi itu menyebabkan kebakaran diduan fasilitas milik perusahaan minyak di Amraco. Fasilitas Khurais berjarak 250 KM dari Dhahran, menjadi lokasi ladang minyak utama. Sedangkan fasilitas Abqaiq berlokasi 60 KM sebelah barat daya kantor utama Amraco di Dhahran, juga merupakan lokasi pabrik pengolohan minyak milik Arab Saudi yang terbesar.
Pemberontakan Houthi mengklaim serangan yang terjadi adalah serangan mereka, akan tetapi Arab Saudi menyatakan bahwa Iran ada dibaliknya. 4 hari setelah serang itu pemerintah Arab Saudi menggelar konferensi pers untuk membuktikan bahwa Iran ada dibalik serangan yang terjadi tersebut. Dengan menunjukkan drone dan puing-puing rudal yang menghancurkan fasilitas minyak di Amraco.
“Kami telah melihat dari pertumbuhan dari agresi Iran”‘ ujar Juru Bicara Arab Saudi, Kolonel Turki Al-Maliki sebagaiman dilansir dari CNBC internaional, hari Rabu (18/8/2019).
Pemerintah Arab Saudi menunjukkan bukti bahwa fasilitas minyak mereka diserang oleh 25 drone dan rudal. Drone tersebut diindivikasi sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV/pesawat tanpa awak) yang di produksi oleh negara iran. Ahli senjata mengamini tudingan Arab Saudi dengan menyampaikan bahwa nomor seri dari beberap rudal dipakai oleh pemberontak Houthi yang memang berasal dari Iran. Pemberontak Houthi sendiri dikenal dekat dengan Iran dan juga mendapatkan dukungan dana dari Teheran.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), melalui akun tweeternya menyampaikan bahwa Iran terlibat dalam 100 serangan ke Arab Saudi, sementara pemimpin tertinggi di Negara Iran Hassan Rouhani berdiplomasi.
Arab Saudi bahkan dengan dengan kehadiran pasukan militer Amerika Serikat masih belum aman dari serangan rivalnya. Apalagi jika negara Paman sam ini menari pasukannya, sudah tentunya negara Arab Saudi dalam posisi sangat rentan.
Dengan demikian m, Saudi yang sebelumnya enggan memangkas produksi minyak mentah, bahkan saat itu melakukan perang harga dengan Rusia yang membuat harga minyak jatuh, akhirnya Saudi mau menuruti keinginan Presiden Trump untuk memangkas produksi minya mentah tersebut.
Komentar