Dunia dengan segala kecanggihannya memang sudah berubah, memang tak dapat dipungkiri masih banyak tetua negeri yang masih enggan melepaskan mandat kepada generasi penerusnya, ntah kerena mereka terlalu pede dan merasa dirinyalah dan generasi tualah yang paling pantas memimpin negeri atau karena mereka merasa gagal, ya mereka gagal mendidik generasi di bawahnya menjadi generasi yang lebih baik yang pantas untuk untuk dimandatkan memimpin perubahan dan pembangunan negeri ini.
Terbaru kita bisa melihat bahwa di Aceh sendiri dalam SK kepengurusan DPD I Partai Golkar hanya segelintir kecil anak muda yang dilibatkan, sehingga memantik komentar dari seorang Fakhrurrazi yang merupakan Direktur Aktivis Milenial Aceh bahwa kepengurusan itu layaknya “Moto Tuha” ya layaknya mobil lawas, Partai Lawas di urus oleh orang lawas (generasi tua) yang sama sekali tidak mewakili generasi Milenial.
Saya tidak ingin memperdebatkan bahwa Milenial itu seperti apa? Gaya rambutnya seperti apa? Gaya bahasanya seperti apa? Atau gaya berpakaiannya seperti apa? Yang jelas semua itu bisa disulap, tentu kita tidak lupa bagaimana Jokowi atau bahkan Ma’ruf Amin didandan “Semilenial” mungkin untuk mencitrakan bahwa mereka milenial, pun demikian Jokowi dan Ma’ruf Amin tetap saja bukan Milenial dengan segala citra palsu yang dipaksakan padanya.
Secara sangat subjektif tanpa ingin berkompromi dengan siapapun saya ingin memaksakan semua orang setuju bahwa milenial yang saya maksud di sini adalah mereka yang berusia paling tua 40 Tahun ke bawah, silahkan gugat jika anda tidak sepakat tapi saya tetap tidak membuka ruang kompromi untuk itu.
Memang juga kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam kontestasi politik 2019 silam banyak anak muda yang mulai berani mengambil peran, entah ianya benar-benar karena kemampuan mereka menembus dominasi tetua negeri, atau mungkin juga mereka hanya dimanfaatkan oleh para tetua itu untuk menjadi magnet demi membangun citra mereka bahwa para tetua itu sudah mulai terbuka, sudah mulai legowo untuk mempercayakan anak muda mengurus negeri, dua-dua kemungkinan itu punya potensi benar yang sama besar, yang jelas memang ada sebahagian anak muda yang mulai berani dan tampil ke depan Publik mengisi ruang politik yang sekian lama dihuni dan dipadati generasi tua warisan “Belanda” yang usianya hampir seusia negeri ini yang mulai renta.
Sementara di luar sana kita bisa melihat adak anak muda yang benar-benar berhasil menembus dominasi kaum tua untuk benar-benar merebut komando kekuasaan di negerinya, lihatlah Macron yang saat menjadi Presiden Prancis masih berusia 39 Tahun dan tercatat sebagai Presiden termuda di negerinya dalam sejarah, atau Sebastian Kurtz (31) yang kemudian oleh banyak kalangan disebut sebagai pemimpin dunia termuda, atau mungkin Nathan Law (23) pada usianya yang begitu muda mampu mengantongi 50 ribu suara dan menjadi anggota parlemen Hong Kong, mereka benar-benar Muda Bukan?
Ya mereka bukan sekedar masuk ke arena politik untuk menjadi penutup kekurang milenialan para tetua negeri, mereka anak muda petarung yang tidak lagi bersedia menjadi aset apalagi simpanan para tetua politik yang selalu mendominasi dengan pernyataan-pernyataan hegemonik semacam “Anak muda adalah aset bangsa” “Di tangan anak mudalah kelak negeri ini dipercayakan” atau “Anak muda hari ini adalah pemimpin di masa depan” namun dalam realitasnya mereka (tetua) selalu saja ingin mendominasi, tak kunjung rela mempercayakan kepemimpinan negeri pada anak muda, regenerasi seakan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Sudahlah, sudah cukup, biarkan para tetua itu berjalan dengan tongkatnya sendiri, berlalulalang dengan mobil tuanya sendiri sambil berdansa di depan cermin tua dan lampu redup diiringi oleh musik keroncong nan eksostisnya, biarkan mereka tetap percaya diri dengan sejuta pengalaman basi yang mereka koleksi, biarkan mereka duduk berbaris rapi dengan jas dan dari yang telah lama mereka kuasa dan tak kunjung mau mereka berikan kepada generasi, anggap saja mereka sedang berbangga atas kegagalan mereka sendiri.
Sekarang saatnya anak muda bergabung dalam gerbong sendiri, dengan settingan mesin dan alunan musik sendiri, kiat harus menjadi nahkoda di gerbong sendiri, berbagi ide, bertarung gagasan dan memperjuangkannya dengan cara kita sendiri tanpa harus mengiba pada mereka yang telah lama mendominasi dan meluluhlantakkan negeri ini.
2022 memang dua tahun lagi, tapi itu adalah waktu yang sangat singkat dan berharga jika ingin kita seriusi, bisa jadi nantinya kata mereka kita adalah generasi yang tidak tau diri, karena dianggap terlalu ego untuk diajak kompromi, tapi percayalah kita akan berdosa pada tanah ini jika terus berdiam diri untuk sekedar mengamankan diri, jika memang dianggap kita sedang mencari sensasi anggaplah itu sebagai bagian dari cara kita mengajak mereka mengintrospeksi diri untuk tidak lagi mendominasi.
Sekali lagi, dengan segenap kecanggihan teknologi, percayalah kita akan mampu memenangkan “perang” ini, sekarang hampir semua generasi milenial aktif di media sosial dengan segala segemen dan tingkat kecanggihan yang berbeda, tinggal kita siasati, klasifikasi untuk kita konversikan menjadi saluran guna mengarusutamakan segala ide liar nan ekstrem untuk membawa negeri ini ke arah yang kita inginkan.
Wahai anak muda, bangkitlah, merdekalah!
Oleh : Lukman
Jubir Frontal
Komentar