NANGGROE.MEDIA | Persoalan politik dinasti kerab dipahami sebagai sistem yang diatur oleh sekelompok keluarga yang menjalankan menyeludup dalam sistem pemerintahan (kekuasaan) pada suatu daerah. Saat sistem politik daerah dikendalikan, tepatnya dimainkan oleh sekelompok garis keturunan (berharta), dapat dimaknai bahwa daerah-kabupaten/kota tersebut cenderung kebal hukum, tepatnya potensial mempolitisasi hak rakyat untuk kepentingan pribadi, mitra sanak saudara. Inilah rajutan paradigma untuk mengintip problem politik di Aceh Tenggara yang akan penulis uraikan pada kajian ini.
Saat politik dinasti membanjiri ruang para pengambil keputusan publik, maka terjadilah kecurangan yang dapat menguntungkan penguasa politik dinasti tersebut, efek lanjutannya tentu akan merusak upaya mensejahterakan kekuasaan. karena akar permasalahan sistem pemerintahan tersebut dipegang oleh suatu keluaraga politik yang mereka saja tampil sebagai penguasa, turut juga menyertai praktik politik curang, baik dalam hal money politik, sulit upaya mengungkapkannya. Pada posisi ini, politik dinasti tersebut secara tidak langsung telah menguasai sistem main politik yang melibatkan rakyat.
Praktik politik yang keji serta penuh kemunafikan tersebut bukan hanya ada di legislatif tetapi juga menjalar hingga ke eksekutif, serta instansi pemerintahan lainya, yang dipimpin oleh kepala daerah yang juga buah dari produk politik dinasti tersebut. Caranya tentu dengan menjadikan sanak saudara atau kerabat keluarganya untuk menjadi kepala dinas di instansi yang diinginkan.
Fungsinya apa? Tentu saja untuk mencapai keinginan keluarganya dalam menjalankan sistem pemerintahan. Kelakuan keluarga besar politik dinasti, politik tersebut saat menjabat sering kali asal-asalan tanpa ada rasa bersalah dalam menjalankan amanah. Hal ini terjadi karena yang menjabat dimaksud sudah mendapat sokongan politik dari keluarganya yang telah mendapat tiket kekuasaan. Parahnya, perilaku politik seperti ini sudah menjalar di setiap instansi pemerintahan di Aceh Tenggara. Bahayanya lagi, keluarga yang dititipkan menjadi kepadala dinas pada suatu instansi saling mengambil keuntungan pribadi untuk kelurga sanak saudaranya, bukan untuk betul-betul menjalankan norma kepentingan rakyat seperti melayani rakyat dan menjadikan daerah agar semakin maju dan pro-rakyat miskin.
Bahkan sekelompok keluarga ini hanya memperkaya dirinya dan keluarganya dengan cara memanfaatkan anggaran pemerintahan yang sudah dikuasai. Walau ada konflik antara legislatif dengan eksekutif, pada akhirnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, Dan lebih parahnya lagi adalah sekelompok keluarga politik ini merasa asyik sendiri dalam memanfaatkan jabatan untuk menguasai sistem pemerintahan secara terus-menerus dari pesta demokrasi ke pesta demokrasi dengan menghalalkan segala cara, baik itu dalam hal mengintervensi rekan kerja sebagai bawahannya, hingga membeli suara politik di saat pemilihan legislatif atau eksekutif untuk menunaikan birahi kekuasaannya. Jalan politik yang ditempuh seperti ini biasanya dilakukan oleh pemerintah Aceh Tenggara akhir-akhir ini.
Cara berpolitik seperti ini sungguh berbahaya bagi Kabupaten Aceh Tenggara karena dengan adanya poros politik keluarga ini, dapat merambat praktik korupsi yang dilakukan oleh jamaah keluarga. Mungkin cara main politik dinasti ini bukan hanya terjadi di Aceh Tenggara saja, bahkan di luar Aceh Tenggara juga ramai yang mengaminkan politik dinasti.
Prakti politik dinasti ini lambat laun akan menghambat generasi muda yang tidak memiliki keluarga yang kaya-berkuasa, dan tidak memiliki keluarga yang pernah menjabat sebagai legislatif maupun eksekutif, atau sedang memegang kendali instansi pemerintahan untuk memasuki dunia politik yang benar, sebab, slot-slot politiknya sudah dikuasi oleh para penyembah politik dinasti tersebut. Bayangkan berapa rusaknya Aceh Tenggara ketika cara main politik seperti ini terus dianut dan dibiarkan oleh masyarakat di Aceh Tenggara. Jujur, Aceh Tenggara dengan politik daerahnya seperti ini secara tidak langsung kita menciptakan neraka di daerah kita sendiri.
Tidak hanya itu, lintas bupati pertama hingga bupati sekarang sekarang dapat kita saksikan bersama betapa kuatnya politik garis keturunan tersebut di Aceh Tenggara. Bahkan cara main politik dinasti ini akan menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Aceh Tenggara. Masyarakat seakan telah mati rasa dengan kelakuan politik dinasti tersebut, Sehingga munculnya keyakinan politik publik bahwa begitulah politik. Seakan politik tidak akan menguntungkan orang-orang yang tidak berkerabat dengan penguasa. Pembiaran dan apatisme publik untuk memperbaiki cara main politik di Aceh Tenggara masih jauh panggang dari api.
Untuk itu, generasi muda Aceh Tenggara hari ini perlu cepat sadar dari kehidupan politik neraka dunia yang sedang dialami oleh Aceh Tenggara hari ini. Jika generasi mudanya loyo, pengejut dan merasa hebat dengan membiarkan cara politik yang hanya menguntungkan keluarga tertentu, dapat dipastikan lambat laun kita di Aceh Tenggara ini akan terus menjalani kehidupan pembodohan politik dari masa ke masa.
Penulis : Aditya Fenra, Penulis Buku Novel Lelaki Berandalan, Maganer Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara
Komentar