Berharap Tanggung Jawab Politik Legislatif

Dalam perkembangan sistem politik dan demokrasi modern, termasuk didalamnya ide demokrasi dalam pemerintahan modern, terus mengalami evolusi pemikiran politik yang tetap berfaksikan kedaulatan rakyat. Karenanya, adanya peran parlementaria dalam membuat serta menetapkan undang-undang, aturan, peraturan sebagai suatu kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat.

Karena itu politik melalui wakil rakyat di parlemen, legislatif, dewan perwaklan rakyat (DPR) bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Hal ini disebabkan adanya sistem politik perwakilan rakyat, maka sistem demokrasi seperti ini populer dengan sebutan yaitu, sistem demokrasi politik tidak lansung. Sistem demokrasi seperti inilah yang saat ini banyak dipraktikkan di sebahagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia dan Aceh khususnya secara undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian, mempraktikkan sistem demokrasi politik seperti ini, mempunyai risiko yang bedampak dengan demokrasi politik tidak langsung ini, yaitu banyaknya permasalahan mayoritas rakyat, dalam kebijakannya mesti tidak mengorban kepentingan rakyat. Secara skala prioritas yang harus dilaksanakan serta kebijakan politik mesti memperhatikan kepentingan umum dan publik, juga sebagai fungsi tradisional negara/pemerintah yang harus dilaksanakan untuk kepentingan umum dan masyarakat luas ataupun publik.

Hal ini berdasarkan kepada ruang politik antara pemerintah dan rakyat yang sangat luas, maka untuk menghindari berbagai kekhawatiran terbentuk nya suatu “sub-culture” pada anggota legislatif (parlemen), selanjutnya terhadap pemerintah yang berkuasa menjauhkan diri dari rakyat yang memilihnya. Sistem demokrasi pemilihan anggota legislatif diharapkan sebagai jembatan penghubung antara kepentingan rakyat dengan pemerintah sebagai penguasa, secara politik atau kebijakan, peran dan fungsi legislatif yang dilakukan efektif dapat serta mampu menyuarakan terhadap kepentingan politik rakyatnya.

Secara realitas dalam kondisdi politik serta pemerintah saat ini, terdapat jurang ataupun “gap” antara pemerintah dengan rakyatnya, secara sistemik ini diatur oleh aturan yang demikian ketat serta mengikat dengan berbagai protokol, dipraktikkan pertemuan antara pejabat atau elite kekuasaan pemerintah saat menggelar berbagai kegiatan maupun acara.

Sehingga kebersamaan dengan rakyat akan berlangsung dengan momen ataupun acara tertentu yang tetap mematuhi protokol serta pengawal yang tetap siaga menjaga keselamatan, keamanan dan orang tertentu yang siaga mengawal disekitarnya.

Hal ini sangat dipahami oleh rakyat banyak dan umumnya setuju, namun ini berdampak rakyat semakin mengawasi perilaku pemerintah dan elite penguasa. Hal ini juga sebagai faktor yang menentukan derajat ataupun tahapan demokrasi yang akan berubah pada saat telah menjadi penguasa, elite dan pemangku kebijakan semakin menjadi jarak, dan ada celah “gap” antara rakyat dengan elite, pemimpin, penguasa yang juga diatur dalam sistem demokrasi politik, rakyat berharap peran legislatif.

Karena itu, kekuasaan atau pemimpin sebagai elite akan terbatas dan berimbang dengan sistem politik ini sesuai dengan musimnya, yaitu biasanya selama pemilihan umum (Pemilu) diadakan lima tahun. Sehingga pemerintah selama lima tahun membuat atau menciptakan undang-undang, aturan serta ketentuan yang mungkin saja mengorbankan kepentingan rakyat.

Dalam konteks Indonesia dan khususnya Aceh, aspek demokrasi dan demokratisasi politik, hal ini dapat diukur serta melibatkan dengan menggunakan dua variabel sistem demokrasi terpenting, hal ini juga dapat merujuk model demokrasi yang umumnya digunakan, yaitu-persaingan dan demokrasi (Jackson dan Jackson, 1977).

Dengan demikian, jika melihat serta menganalisis aspek persaingan, hal ini akan tergambar bahwa, akan bergerak terjadi mobilisasi dalam lingkungan sistem politik yang lebih formal, dimana yang ada hubungan langsung dengan pembahagian kekuasaan. Secara lebih khusus dan tergambar dalam konteks praktik politik adalah, peranan partai politik dalam membentuk koalisi partai, yang menjadi representasi kelompok, kaum, ras, komunitas dan keterwakilan masyarakat tertentu.

Dalam hal ini tergambar bahwa, formulasi demokrasi dengan koalisi partai dan kelompok untuk memenuhi berbagai tuntutan kepentingan kelompoknya, hal ini lebih dikenal ataupun populer dengan sebutan kesepakatan (teori kesepakatan Lijphart; Mauzy, 1982) atau adanya musyawarah antar kelompok berkepentingan.

Hal ini semakin menarik jika dikaji dan dianalisis dari perspektif perwakilan yang mengarah kepada proses demokratisasi, dimana akan melibatkan serta adanya peran agensi politik seperti organisasi yang tidak terlibat dalam pemerintahan, yaitu organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ikut mempengaruhi sistem politik serta pengambilan kebijakan pada strata yang lebih umum lagi.

Harapan kontrol kebijakan publik serta kepentingan masyarakat umum saat ini yang sama sekali tidak berpihak setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, namun ternyata kapasitas dan kapbilitas legislatif terbawa gaya eksekutif, tanpa kontrol serta mengikuti tidak mampu membantah dan memperbaikinya, menunjukkan bahwa, model dan sistem politik sepert ini, menurut Anne Munro-Kua (1998), sebagai kecenderungan populisme otoritarian (autoritarian populism).

Demikian juga, ada istilah lainnya menurut Mauzy (1995) yaitu, kesepakatan terpaksa (coercive consociationalism), dalam hal ini tidak bermakna bahwa aktivitas maupun gerakan kepada arah politik keterwakilan telah tertutup rapat, karena secara nyata praktik demokrasi politik legislatif tetap berlangsung setiap lima tahun sekali, ini dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) legislatif, dominasi politik oligarki serta diatur secara undang-undang ataupun aturan Pemilu.

Karenanya, dalam sistem politik dan tanggung jawab politik legislatif sebagai keterwakilan atau wakil rakyat yang diatur dengan aturan serta undang-undang Pemilu yang berlaku, ini tidak terlepas dari aspek “autoritarian” secara realitas wujud dalam sistem politik nasional Indonesia, juga berlaku di Aceh dengan kekhususannya. Dengan demikian, adanya aspek “persaingan”.

Hal ini tidak menjadi landasan, patokan serta berdampak kepada usaha memperjuangkan kepentingan rakyat. Apalagi harapan dihadapkan kepada risiko politik, baik secara individu perwakilan rakyat maupun partai politik yang tinggi, ini akan mengorbankan partai politik dengan model oligarki politik yang berlaku serta tampak nyata. Maka seringkali perjuangan untuk kepentingan rakyat akan dinafikan dalam rangka mempertahankan kepentingan partai dan individu pimpinan partai.

Demikian juga, partai yang berkuasa akan terus memperkuat koalisi partai yang semakin besar dan mempunyai kekuasaan terhadap pengambilan/penetapan kebijakan cenderung mempraktikkan “coercive consociationalism” sehingga semakin menciptakan jarak antara elite politik, pemerintah dan penguasa terhadap kepentingan politik rakyat.

Karenanya, tanggung jawab politik legislatif tidak lagi merupakan keterwakilan kepentingan politik rakyat yang lebih luas terhadap usaha kebijakan pemerintah, maka legislatif akan menghindari dari tanggung jawab kepada rakyat dari kekeliruan dan kesalahan penetapan kebijakan berada ditangan pemerintah atau eksekutif, ditengah ketidakberdayaan legislatif bertanggung jawab, ini mengubur harapan rakyat secara politik.

Kondisi politik dengan sistem politik keterwakilan saat ini, adanya alternatif dengan merujuk kepada “perwakilan” ataupun keterwakilan legislatif, nyatanya juga memiliki risiko politik pemerintah relatif lebih rendah. Dengan praktik sistem politik serta adanya “perwakilan” yang melebar sampai ke daerah, baik provinsi bahkan kabupaten/kota, semestinya ini menjadi semakin lebih baik bagi negara/pemerintah.

Keberadaan negara/pemerintah pada tingkat yang lebih rendah menjadikan ruang yang lebih lebar serta luas ke provinsi, kabupaten/kota dapat menjadi perpanjangan tangan dalam mendekatkan kebijakan politik publik, yang dibantu oleh adanya perwakilan yang ikut mengotrol atau mengawasi kebijakan, ini menjadikan sesuatu yang lebih baik bagi negara/pemerintah.

Semakin melebar dan meluasnya demokrasi politik dalam sistem demokratisasi yang dibangun ditengah industri atau pabrik politik masyarakat semakin bersaing, selanjutnya diharapkan akan mendorong persaingan yang lebih bersifat terbuka dan sehat. Setelah menjadi wakil rakyat pada lembaga legislatif, mestinya diharapkan tanggung jawab politik memperjuangkan kepentingan rakyat.

Oleh : Taufiq Abdul Rahim
Pengamat Ekonomi dan Politik Aceh.

Isi tulisan ini sepenuhnya milik dan tanggungjawab penulis.

Komentar