Nanggroe.net, Lhokseumawe | Mengubah peradaban bangsa ini menjadi lebih baik di antaranya adalah menjadikan Indonesia bebas korupsi atau setidak-tidaknya mampu menekan angka korupsi. Perbaikan kualitas demokrasi juga ditandai dengan membaiknya penegakan hukum korupsi dan aparatur yang jujur dan berwibawa. Bukan malah sebaliknya, praktik demokrasi yang kita jalani saat ini memang membuka ruang untuk korup. Memberantas korupsi pada era ini bukan pada persoalan kemampuan, namun lebih dititikberatkan pada kemauan memberantas korupsi sebagai endemik.
Korupsi merupakan penyakit akut bangsa ini, hampir dipastikan bahwa bangsa ini sudah lelah cara-cara bagaimana memberantas korupsi yang efektif. Bahkan, dalam pesta demokrasi sekalipun korupsi terus berkelindan dengan performa yang apik. Perilaku korup mengisyaratkan kepada publik bahwa korupsi akan terus terjadi secara berantai dengan berbagai wajah. Kejahatan demokrasi ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja, proses yang panjang serta berbiaya mahal seharusnya menghasilkan wajah demokrasi yang semakin stabil dan membaik.
Korupsi di bidang demokrasi ini, akan terus terjadi jika antikorupsi tanpa adanya demokratisasi, mustahil korupsi mampu diberantas. Demokratisasi antikorupsi merupakan upaya untuk dilakukan secepatnya melihat fenomena percepatan pemberantasan korupsi semakin hari semakin melemah dan terkesan praktek korupsi terus membumi di negeri ini.
Baca Juga : Terkait Aksi Provokatif Terhadap IBHRS Yang Membawa Almamater Tanpa Logo: Ini Tanggapan Imam FPI Aceh
Pemberantasan korupsi seyogiyanya dirancang menggunakan mekanisme yang terukur dan tersistem serta perlu dilakukan evaluasi secara kontinuitas setiap tahunnya oleh lembaga penegak hukum tak terkecuali juga KPK. Tindakan ini merupakan suatu keniscayaan disebabkan koruptor selalu mencari celah dan strategi untuk terus berbuat korupsi.
Oleh sebab itu, negara tak boleh kalah dan gamang dalam upaya penanggulangannya. Persoalan lainnya adalah hukum yang baik belum tentu mampu menekan perilaku korup dan suap, jika penyelenggara negara dan pemangku kepentingan lainnya juga larut dalam balutan praktek rente suap dan korupsi. Maka menjadi suatu keniscayaan, merancang pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan suatu ideologi ke arah gerakan bersama, terpadu dan berbasis antikorupsi dalam suatu tindakan nyata.
Suatu kemustahilan memberikan pemerintahan yang jujur dan responsif, jika korupsi terus terjadi dan menggelayuti negeri ini. Ibarat parasit yang akan terus merusak suatu bangsa dan negara dari dalam secara laten dan menjadikan negara ini keropos dari dalam.
Kejahatan korupsi pada hakikatnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat dan akan melemahkan seluruh upaya aparatus negara dalam perumusan kebijakan dan implementasinya. Praktek korupsi yang tanpa henti pada akhirnya merusak kepercayaan dan harapan masyarakat untuk hidup sejahtera.
Meskipun praktek korupsi dan suap telah terjadi di berbagai elemen masyarakat, akan tetapi korupsi belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Fenomena korupsi korupsi selalu muncul dari sejumlah faktor yang saling terkait, yang praktik dan tipologinya berbeda satu sama lain.
Di antara faktor-faktor yang paling umum disebutkan yang mempengaruhi perkembangan korupsi adalah, lingkungan politik dan ekonomi, etika profesional dan undang-undang, serta faktor kebudayaan korupsi itu sendiri.
Komitmen bersama
Korupsi juga menciptakan kurangnya transparansi dan kontrol lembaga pengawas yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena banyak oknum lembaga pengawas juga berkelindan dengan praktek korupsi. Hal ini ditandai banyaknya anggota dewan yang terjerat lembaga antirasuah (KPK). Walaupun belakangan ini lembaga KPK tersebut terlihat melemah dalam penindakan kasus-kasus korupsi pasca lahirnya undang-undang antikorupsi yang baru.
Taji KPK baru bekerja di akhir tahun, pasca tertangkap tangan korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Sosial. Walaupun, tindak lanjut dari penyelesaian kasus ini masih perlu diuji sampai dimana berhenti.
Jika melihat problema penegakan hukum saat ini maka sebenarnya Indonesia sudah berada pada posisi yang sangat mengkhawatirkan, banyak kasus korupsi tanpa penyelesaian yang berkepastian. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku korupsi sering berlindung di balik kekuasaan. Maka seringkali pemberatasan korupsi menjadi tersendat, apalagi banyak kasus korupsi yang dipolitisir untuk kepentingan meraih kekuasaan.
Baca Juga : Setelah Melakukan Obsersi, Mahasiswa Menilai Pemkab Aceh Timur Abai Terhadap Permasalahan Masyarakat.
Penataan penegakan hukum bidang korupsi juga harus dilihat dalam kaca mata sistem peradilan pidana, sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih menyisakan berbagai problematika dalam penuntasan berbagai kasus.
Hal ini bisa dimaknai dengan adanya kasus-kasus yang diproses KPK dan penegak hukum lainnya tidak selesai secara tuntas. Problem ini tentu menghambat proses penegakan hukum dan kepastian hukumnya. Sehingga, untuk kasus-kasus tertentu korupsi cenderung melanggar hak asasi manusia. Padahal, esensi pemberantasan korupsi adalah penegakan hukum yang berpastian serta mampu menekan praktik korupsi.
Pemberantasan korupsi memang memerlukan cara yang paling efektif di antaranya adalah penetapan checks and balances pada pemerintah untuk membatasi pengambilan keputusan berdasarkan kebijaksanaan dan mengurangi peluang untuk praktik suap dan korup. Penetapan checks and balances ini sebagai suatu strategi untuk memberantas korupsi, karena menghapus korupsi secara permanen sangat mustahil.
Suatu negara yang menganut paham demokrasi cara untuk memperkenalkan checks and balances sebagai suatu strategi yang dapat mengekang penyalahgunaan kekuasaan. Karena alasan ini, seperti yang ditunjukkan sebelumnya, demokrasi yang lemah seringkali tidak lebih baik dalam mengendalikan korupsi daripada rezim otoriter.
Rentannya praktik korupsi seringkali muncul karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah dan belum adanya sinergitas antarpenegak hukum dalam pencegahan maupun pemberantasan korupsi.
Salah satu upaya untuk penanggulangan korupsi di antaranya adalah dengan merampingkan proses birokrasi, memperkuat lembaga-lembaga antikorupsi dan manajemen keuangan publik, serta memperkuat ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, diperlukan reformasi yang berbasis sistem yang terukur serta aparatus yang berintegritas.
Pola ini tetap merupakan tindakan top-down ketat yang diarahkan pemerintah tanpa memberikan peluang kepada kolega, keluarga dan partai politik untuk sebuah proyek, jika peluang tersebut didapatkan secara ilegal dan cenderung mencari keutungan.
Oleh karena itu, karakterisasi yang lebih tepat mengenai sifat dan jenis kegiatan korupsi merupakan prasyarat penting untuk pengembangan dan desain tindakan antikorupsi yang akan ditargetkan sebagai pemberantasan praktik korupsi. Prinsip transparansi menjadi pilar penguat dari pembatasan tersebut, dan itu dimulai dari sistem yang bisa diakses serta ketegasan pemimpin nasional dan daerah serta dukungan kongkrit dari penegak hukum.
Akhirnya, pemberantasan perilaku korup itu harus dilakukan dengan secara konsisten dan terintegrasi. Harus dilakukan penataan ulang untuk revolusi mental dalam rangka kebutuhan akan pembaharuan sistem penegakan hukum yang progresif. Tanpa itu semua, mustahil mampu menekan angka korupsi yang kian menggurita.
Oleh Yusrizal, Dosen Hukum Pidana Pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Komentar