Nanggroe.net | Sebagai manusia yang telah menjadi penduduk kampus, mahasiswa telah terkonfirmasi menjadi manusia yang seharusnya intelektual, konseptual/bergagasan, dan bahkan bermoral, sebagai penyesuaian diri karena dirinya telah masuk dalam institusi pendidikan tinggi.
Kampus, sebagai laboratorium intelektual memang semestinya melahirkan mahasiswa yang tak hanya intelek namun juga bermoral.
Landasan moral dan khazanah keilmuan itulah menjadi dasar mahasiswa bertindak, sehingga bisa menjadi tauladan bagi masyarakat yang belum mendapatkan pendidikan.
Namun saat moralitas tak dijunjung tinggi, keilmuan yang dimiliki tak diterapkan, apakah ini salah kampus yang mendidik? Atau memang manusianya yang apatis dan juga bingal?.
Tindakan moral mahasiswa dikampus, juga akan menjadi sorotan publik, bagaimana ia menggenggam erat moralitas dan keilmuan. Lantas bagaimana mahasiswa bisa dinobatkan sebagai makhluk yang bermoral, saat implementasinya dalam kehidupan kampus saja ia senang akan perpecahan, suka akan pengelompokan, dan bahagia dengan segala sikap individualitasnya tanpa harus memperhatikan sekitar? bagaimana mungkin ia bisa membawa arus perubahan sosial, jika tempat dimana ia ditempah dan sesamanya pun selalu tak dipedulikan?.
Dalam hal apapun, moral tak mungkinlah harus ditinggalkan, termasuk dalam mencapai tujuan politik yang berkaitan dengan kekuasaan, termasuk dalam kehidupan politik kampus mahasiswa.
Meskipun yang jngin dicapai sekalipun adalah birokrasi mahasiswa, pun demikian tidak jauh berbeda dengan kehidupan politik bernegara, yang tak lazim menggunakan semua cara untuk menjatuhkan lawan melalui agitasi yang kotor (cenderung kepada fitnah, dan menjatuhkan lawan tanpa dasar).
Meskipun manusia (termasuk mahasiswa) yang pada esensinya merupakan pribadi yang bebas, hal ini juga tidak membenarkan mahasiswa bertindak kotor dalam kompetisi politik.
Menurut, Otto Gusti Dosen Filsafat dan HAM di STFK Ledalero, dalam karya jurnalnya berjudul Moral dan Politik, ‘Politik dibangun ketika manusia berbicara, berkomunikasi, dan membangun wacana’.
Dalam 3 klaster perbuatan itu, ‘Bicara, Komunikasi, dan wacana’, itu semua bersandar pada visi yang baik (Dalam artian moral).
Tidaklah mungkin seorang mahasiswa yang dianggap citra intelek dan moralnya, namun bertindak inmoralitas, yang berbuat seperti zombie yang sesuka hati, raganya hidup namun hatinya telah mati.
Menjelang pemilihan raya/penggelaran politik mahasiswa, sudah semestinya perbuatan calon dan simpatizernya mencerminkan perbuatan yang bermoral, tanpa harus meproduksi fitnah, dan melakukan segala cara dengan motif ‘asal menang’, cara semacam inilah dapat menggugurkan esensi kemanusiaan itu sendiri.
Karena pada dasarnya, berpijak dari pendapat Aristoteles, manusia merupakan binatang yang berfikir, dan bukannkah ada pepatah mengatakan ‘pikir itu pelita hati,’. Namun masihkah lazim kita disebut manusia berfikir dan berhati, sementara tindakan kita lebih zombie dari zombie itu sendiri?, Yang tidak memperdulikan sekitar, demi meraup dan menggelontorkan kepentingan pribadi yang bersifat tunggal.
Dalam berpolitik hendaklah kita senantiasa menjaga keutuhan, tetap menyebarkan harum meskipun kita mendapat hasil yang tak setimpal, cara politik sehat semacam inilah yang seharusnya diterapkan dimulai dari kehidupan politik kampus, karena semua mahasiswa mesti akan menanggalkan almamaternya dan mendapat gelar sarjana, dan apakah ia bisa merubah birokasi dan tatanan hidup bernegara? Sementara saat dikampus sajapun ia selalu curang dalam tindakan, dan bahkan abai terhadap kesatuan dan persatuan.
Politik yang kita bangun hendaklah bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan berasal dari ego sektoral yang membuat benalu dalam tatanan yang ingin kita cita-citakan.
Berpolitik hendaklah lihai dalam beradu gagasan, melampirkan trackrecord sehingga ia memang layak dipilih (punya elektabilitas) yang memang benar gaya kepemimpinan layak dan dapat membawa perubahan.
Bunuhlah benalu dalam kontestasi politik, dan hadirkan Politik konseptual/bergagasan, namun sebagai pemerhati/pemilih hendaklah kita cerdas.
Terakhir untuk mengakhiri tulisan ini, saya teringat dengan pendapat atau nasihat salah seorang Guru besar hukum di Aceh, Prof Jamaluddin SH MHum.
‘Kita harus cerdas dalam menentukan pemimpin, mengkritik pemimpin, dan cerdas bagaimana menjadi pemimpin’.
Oleh :
Arwan Syahputra
Mahasiswa/pemerhati pemerintahan mahasiswa asal Universitas Malikussaleh
Komentar