Pragmatisme pasca perang jadi bumerang untuk pembangunan Aceh, Elit terjebak dalam “pertarungan” atau kontradiksi internal, idealisme yang tumbuh disaat konflik ikut berubah menjadi pragmatisme yang didorong oleh keinginan, kebutuhan, kepentingan dan peluang yang terbuka lebar seiring transisi dari suasana “perang” ke kondisi damai!
“Yang Penting Guwe Untung, Elo Terserah”
“Ultra Pragmatis berasal dari kata ultra dan pragmatis, Ultra merupakan sinonim dari kata super atau sangat, sementara pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
Dengan demikian, bukan kebenaran objektif (ideal) yang penting, melainkan bagaimana kegunaan pragtis kepada individu-individu, dengan kata lain yang paling ideal menurut pemahaman ini adalah yang paling menguntungkan dan yang paling cepat memberikan hasil alias pragtis.
Dalam konteks politik paham ultra pragmatis bisa diartikan dengan sebuah cara pandang yang menganggap bahwa setiap peluang harus dimanfaatkan dengan cara apapun untuk dikonversi menjadi sebermanfaat mungkin termasuk dengan cara yang illegal atau tidak etis sekalipun.
Bagi mereka cara terserah, baik benar atau salah sekalipun tidak lebih penting dibandingkan hasil yang mereka targetkan
Jiwa pragmatis tersebut tidak hanya terwujud dalam pribadi-pribadi yang taat-taat saja pada boss atau orang yang sedang dia harapkan untuk dapat memberikan keuntungan bagi dia, tapi juga bisa menjelma menjadi pribadi-pribadi yang super kritis, namun kekritisannya cuma sebatas untuk memperkuat posisi tawarnya, demi memperbesar peluang dia untuk mengeruk keuntungan semata, sama sekali bukan bentuk kritik untuk memperbaiki keadaan.
Dengan bahasa yang sangat kasar paham ultra pragmatis itu bisa digambarkan dengan kata “yang penting guwe untung, elo terserah”.
Realitas yang dapat menggambarkan pemahaman seperti itu bisa kita dapatkan dengan sangat gampang dalam kehidupan kita.
Figur oportunis adalah musuh dalam selimut
Dalam sebuah organisasi tidak jarang ada figur-figur yang sama sekali tidak idealis atau bahkan bisa jadi sangat oportunis. Dalam wikepedia disebutkan bahwa Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok atau suatu tujuan tertentu.
Jadi yang dimaksud dengan figur oportunis adalah sosok yang hanya memikirkan keuntungan yang dia dapat semata, dia tidak peduli dengan proses, karena yang paling penting adalah manfaat yang bisa ia dapatkan, sekecil apapun peluang yang ada harus dimanfaatkan agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi dirinya, meskipun merugikan yang lain secara sopan atau kasar dalam skala kecil atau besar sekalipun.
Sosok oportunis seperti ini biasanya bukanlan orang bodoh, tetapi mereka orang-orang yang pintar bin cerdas plus licik bin culas yang dapat memanfaatkan sekecil apapun peluang yang mereka dapat, mereka biasanya bukan sosok yang mau bekerja keras atau bersusah payah untuk menciptakan peluang melainkan sosok yang hanya “mau” memanfaatkan peluang yang tersedia atau bahkan “merebut” peluang yang orang usahakan.
Misalkan dia ingin berkarier di dunia politik, kemudian dia dihadapkan pada dua pilihan apakah dia harus bergabung dengan Partai A atau Partai B, maka yang mejadi pertimbangan dia dalam memilih partai adalah aspek peluang yang akan dia raih jika bergabung dengan salah satu partai tersebut, jika partai A menjanjikan peluang yang lebih besar untuk mengantarkan dia “meraih” target pribadi semisal menjadi Anggota Dewan atau Bupati, Gubernur atau Presiden maka dia akan memilih partai A, meskipun partai terkait tidak memiliki visi yang sama dengan dia, atau bahkan partai terkait bisa jadi memang memiliki visi yang sama sekali bertolak belakang dengan visi dia sekalipun, yang penting bagi dia adalah bisa memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada dia.
Sosok oportunis seperti ini biasanya tidak pernah sungkan-sungkan “menjelekkan” orang lain yang dia anggap saingan, meskipun orang yang sebelumnya sudah duluan berada di partai yang akan dia pilih untuk dijadikan kenderaan politiknya, selama hal itu bisa mengangkat nama dia untuk secepatkan mendapatkan peluang yang dia inginkan. Lebih tragis lagi sosok oportunis seperti ini tidak pernah memikirkan “dampak” negatif dari tindakan “busuk’ dia yang akan merugikan partai tempat dia bernaung, karena bagi dia “target” pribadi jauh lebih penting dibandingkan target partai “yang bisa jadi” tidak dia perhitungkan sama sekali.
Salah satu dampak negativ keberadaan sosok oportunis seperti ini misalkan akan menimbulkan perpecahan di tubuh partai yang dia tumpangi atau bahkan akan ada sosok yang sebenarnya lebih berjasa kepada partai yang akan terlempar keluar, akibat “manuver busuk” yang dia mainkan, yang sejatinya sangat merugikan bagi partai yang “ditumpangi” oleh sosok oportunis tersebut. Dia pada dasarnya tidak lebih dari seorang penjilat yang akan melakukan apa saja atas nama kepentingan dia sendiri.
Sanjungan dan dukungan atau bahkan kritikan yang dia berikan sangat tergantung pada kepentingan dan keuntungan yang dia dapatkan. Sosok oportunis seperti itu biasanya juga tidak pernah sungkan untuk menyanjung orang atau sosok atau kelompok yang menurut dia akan memberikan keuntungan kepada dia.
Misalkan dia sebelumnya masuk ke partai A dan kemudian dia mengambil keuntungan dari partai A tersebut, kemudian setelah dia merasa cukup atau bisa juga dia merasa peluang dia di Partai A telah mengecil atau tertutup sama sekali, maka tidak mustahil dia akan “loncat” ke partai B dan akan menyanjung partai B setinggi langit serta akan merendahkan dan terus merong-rong Partai A, bahkan sampai partai A hancur sekalipun karena bagi dia itu hanya masalah kepentingan, selama dia diuntungkan maka partai itu harus dia sanjung begitu juga sebaliknya ketika dia tidak diuntungkan lagi maka menghujat dan merendahkan pertai A yang sebelumnya dia tumpangi bukanlah persoalan tabu.
Lebih tegas lagi bisa dikatakan bahwa bagi sosok yang oportunis itu persoalan menyanjung orang yang pernah dia benci lebih tinggi dari realitas yang sebenarnya ada, atau sebaliknya menghujat dan membusukkan orang yang sebelumnya dia sanjung lebih buruk dan lebih rendah dari posisi yang sebenarnya orang tersebut tempati bukanlah masalah. Yang paling penting adalah dia diuntungkan, karena dia punya prinsip “yang penting guwe untung, elo terserah”.
Untuk menemukan sosok seperti yang tergambarkan di atas dalam perpolitikan di Aceh bahkan Indonesia tidaklah sulit dan kemungkinan besar sosok oportunis tersebut ada di setiap oraganisasi politik.
Misalkan ada politikus yang sebelumnya sangat anti dengan gerakan tertentu kemudian tiba-tiba menyelinap ke dalam kelompok tersebut dan menjadi “pemain utama” ketika pertai atau kelompok tersebut meraih kesuksesan.
Ada juga sosok tertentu hanya memanfaatkan popularitas partai tertentu untuk “numpang” agar dia bisa menjadi anggota dewan atau senator dengan mudah, hanya bermodalkan Jilatan-jilatan lebai yang berhasil melenakan kelompok yang dia mamfaatkan untuk dapat meberikan dukungan kepada dia, namun setelah itu dia menikmati kesuksesan itu tanpa pernah peduli lagi dengan partai yang telah mengantarkan dia ke posisi di mana dia inginkan tersebut.
Dalam kasus lain ada sosok Politikus oportunis yang sebelumnya terlihat begitu mesra dengan elit partai atau pejabat dari partai tertentu namun ketika terjadi riak di tengah partai tersebut yang sangat bisa jadi “dia memang” menginginkan perpecahan tersebut untuk secepatnya dapat menguasai posisi strategis yang dia inginkan, dengan ikut memanaskan situasi dengan menyerang salah satu pihak yang menurut dia “lemah” karena mustahil dia akan membela yang lemah, ini dikarenakan jika dia membela yang menurut dia “lemah” maka dia akan ikut terpinggirkan.
Akhirnya kita berharap agar sosok oportunis seperti ini tidak ada di sekitar kita, atau kalau ada kita harus secepatnya menyadari hal tersebut agar kita semua tidak dirugikan oleh “penghisap darah” seperti itu.
Semoga saja bagi partai atau organisasi tertentu yang merasa ada sosok-sosok yang cenderung oportunis seperti yang tergambarkan di atas agar dapat diwaspadai demi kebaikan dan keselamatan partai atau organisasi terkait dari pembusukan yang bisa saja terjadi ketika sosok tersebut merasa tidak lagi membutuhkan keuntungan dari partai atau oraganisasi yang dia tumpangi.
Yang Penting Guwe Untung, Elo? Terserah, demikianlah mereka beriman, na’uzubillahi minzaalik.
Waspadalah!
Oleh : Lukman Hakim
Aktivis Frontal Aceh
Isi tulisan ini sepenuhnya milik dan tanggungjawab penulis.
Komentar