Nanggroe.net, Lhokseumawe | Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) digemborkan oleh pemerintah pusat yang dianggap sebagai cara heroik pada dalam menekan angka penyebaran covid-19 pada bulan Juli 2021 ini.
Kebijakan orang no 1 di Republik Indonesia melalui Kementrian dalam negeri (Kemendagri) ini, menjadi atensi publik bahkan menuai kontradiksi dari kalangan pemerhati dan ahli, jika dikaji dari aspek hukum maupun ekonomi.
Bahkan kebijakan PPKM yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat telah berlaku dari 3 Juli – 20 Juli saat ini sekira berlaku 2 pekan lamanya dikabarkan akan diperpanjang dengan menunggu evaluasi.
Legal standing pemberlakuan PPKM yang dibuat oleh pemerintah melalui Kemendagri tertuang dalam intruksi Mendagri no 15 tahun 2021 Tentang Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat Covid-19 diwilayah Jawa-bali, dan juga Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan mengoptimalkan Posko Penanganan CORONA VIRUS DISEASE 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran CORONA VIRUS DISEASE 2019 ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Wali kota Seluruh Indonesia.
Muatan dalam Inmendagri itu, mengandung batasan kegiatan masyarakat, mulai dari bekerja dari rumah, belajar full daring, pusat pembelanjaan dibatasi atau ditutup, resto/Caffe dibatasi dan lain sebagainya.
Aturan PPKM yang dikeluarkan oleh pemerintah ini pasti punya niat baik dalam pencegahan dan menekan angka penyebaran pandemi Covid-19 dan juga menginginkan pemulihan perekonomian nasional.
Namun demikian, dalam khazanah berkehidupan tak cukup hanya niat baik, namun juga implementasi nya juga harus baik, dan punya dasar hukum yang menjadi pegangan dalam bertindak kebaikan.
Jika ditelisik muatan dalam Inmendagri tentang PPKM tersebut, sama sekali tidak ada menyinggung dan mengambil dasar dari Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan.
Sebanyak 98 pasal dalam UU tersebut, sama sekali tidak menyinggung tentang pembatasan kegiatan masyarakat yang disebut PPKM.
Bahkan, UU tersebut cenderung mengakomodir kebutuhan masyarakat ditengah karantina kesehatan,
Hal tersebut tertuang didalam,
Pasal 2
Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan:
a.perikemanusiaan;
b.manfaat;
c.pelindungan;
d.keadilan;
e.nondiskriminatif;
f.kepentingan umum;
g.keterpaduan;
h.kesadaran hukum; dan
i.kedaulatan negara.
1.Kedudukan Intruksi Mendagri, dan Apakah Inmendagri Bagian Dari Peraturan perundang-undangan.
Menteri dalam negeri sebagai pembantu presiden dalam urusan pemerintahan, juga diberikan wewenang oleh undang-undang dalam pembentukan peraturan yang disebut dengan ‘Peraturan Menteri’ (Permen).
Menurut Pakar hukum tatanegara, Prof Dr. A. Hamid S. Attamimmi , SH atau dikenal sebagai bapak Perundang-undangan Indonesia ( Ilmu perundangan-undangan, 1990, hlm. 352), menegaskan Atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang (baru)oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.
Bapak Perundang-undangan itu juga membagi 2 Jenis doktrin, dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
- atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
- delegasi pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Dilihat dari segi hukumnya, maka kedudukan Permen maupun Inmen, sebagai aturan pelaksana dari aturan yang ada diatasnya sebagai delegasi dari undang-undang,(Misal : Dalam UU A, memuat aturan lebih lanjut diperjelas melalui peraturan menteri).
Pada dasarnya, Berdasarkan Undang-undang no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik tentang kedudukan peraturan menteri maupun instruksi Mentri.
Namun, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, ‘Menteri’, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
frase “…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan intruksi menteri, sama sekali tidak ada di bahas dalam UU no 12 tahun 2011, namun saat intruksi ini dikeluarkan oleh menteri, mestilah harus bersesuaian dengan aturan diatasnya (Permen), dan juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
- Intruksi Mendagri no 15 tahun 2021 dan Intruksi Mendagri no 17 tahun 2021 tentang PPKM Tidak Punya Dasar Yang Kuat
Sebagai Aturan yang dikeluarkan oleh menteri, Intruksi Mendagri tentang PPKM harus lah berdasarkan azas hukum, ‘Lex Superiori derogat legi inferior’ hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Inti dari azas ini jika kita pahami, adanya sebuah aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan aturan Yang diatasnya, Inmen tidak boleh bertentangan dengan permen, dan permen tidak bisa bertentangan dengan Perpres,PP, UU,Tap MPR bahkan UUD 1945.
Jika kita simak, seluruh isi dari Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, sama sekali tidak ada pembahasan tentang Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM, namun Intruksi Mendagri memuat ttg PPKM yang fungsinya untuk menekan angka penyebaran Covid 19.
Ini menjadi dilematis tersendiri, aturan dikeluarkan Mentri namun kita anggap tidak punya dasar hukum yang kuat, karena tidak ada perintah dari aturan yang berada diatasnya.
Dengan dasar ini, seharusnya pemerintah pusat mengakaji ulang, ataupun memuat alternatif lain sehingga kedudukan intruksi Mendagri tentang PPKM ini jelas keberadaannya, dan tidak liar.
Jika intruksi Mendagri ini tidak dievaluasi, maka kedudukan negara Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) tertuang dalam konstitusi negara/UUD 1945 pasal 1 ayat 3, menjadi buram, bahkan tidak jelas, karena masih ada aturan yang mengatur tentang aktivitas bernegara namun tidak sesuai dengan sumber hukum formil yang ada di negara itu sendiri.
3.Jika untuk Menekan Penyebaran Covid-19, Seharusnya pemerintah tetap berpedoman dengan Karantina Wilayah ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB Bukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.
Dalam UU No 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan, memperjelas tentang pemberlakuan karantina wilayah dan juga PSBB yang pernah dibuat di DKI Jakarta (misalnya) bukannya tentang pembatasan kegiatan masyarakat.
Hal ini tertuang dalam, Pasal 1 ayat 10 dan 11
Ayat (10) Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Ayat (11) pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Pemberlakuan karantina wilayah dan PSBB itu pun harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Tertuang dalam Pasal 2 UU karantina kesehatan, pada huruf a.
Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan:
a.perikemanusiaan.
Dalam aturan intruksi Mendagri no 15 dan 17 tahun 2021 itu, ada hal tentang membatasi kegiatan perekonomian masyarakat dan hal ini perlu kita kaji karena ada pertentangan dengan konstitusi Negara, sebagaimana Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi. Di dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Saat intruksi Mendagri tentang PPKM ini masih diberlakukan, masih banyak aturan yang dianggap ditentang, termasuk hak ekonomi masyarakat yang memang dijamin oleh konstitusi.
Dengan hanya memberlakukan karantina wilayah maupun PSBB, payung hukum nya jelas, dan juga hal ini mampu menekan angka penyebaran Covid 19 tanpa harus ada hak Kemanusiaan warga negara yang harus dikekang bahkan di langgar, karena pada prinsipnya negara Indonesia pun menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Namun saat PPKM ini masih diberlakukan, selain kabur dalam landasan, juga banyak hak warga negara yang harus dikekang, namun negara belum dapat hadir menjawab tiap sisi persoalan.
Dan pada intinya, partisipasi warga negara memang diperlukan dalam menekan Angka Penyebaran Covid-19, karena tidak mungkin pemerintah bisa bekerja sendirian, namun dibalik itu pemerintah juga harus mempertimbangkan masukan dan keadilan masyarakat saat aturan akan dikeluarkan, agar citra bangsa ini sebagai negara hukum dan negara yang menjunjung HAM tidak diragukan.
Oleh : Arwan Syahputra
Mahasiswa Hukum Tatanegara
Universitas Malikussaleh
Komentar