Sekilas gagasan ini mungkin terdengar aneh, betapa tidak ini adalah gagasan yang sangat tidak penting, toh tanpa kuota khusus seperti ini pun anak muda juga sudah banyak yang terlibat dan dilibatkan dalam dunia politik, baik yang musiman maupun yang permanen secara continu.
Benar bahwa banyak anak muda yang sudah terlibat dan dilibatkan dalam dunia politik dengan atau tanpa kuota khusus seperti yang saya sebutkan di atas, tapi kita bisa sama-sama melihat di setiap musim kontestasi politik, hampir semua Partai, hampir semua Faksi Politik, hampir semua kontestan politik berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai kontestan, faksi maupun Partai yang Pro terhadap kaum muda, berbagai cara mereka lalukan, baik dengan menghias orang tua dengan style pakaian yang ala-ala milenial, cara berkendaraan yang sebisa mungkin dicitrakan semilenial mungkin atau juga ada yang memakai strategi yang lebih kongkrit yaitu dengan mendorong anak muda ke panggung debat, tujuannya tidak lebih untuk mencitrakan diri baik secara personal maupun secara kolektif sebagai pihak yang pro terhadap milenial, tapi nyatanya itu semua tidak lebih dari upaya untuk “semata-mata” menggaet konstituen milenial yang memang sedang mendominasi demografi pemilih di Indonesia dan juga Aceh sekarang ini.
Sebuah hasil survey yang di rilis SMRC yang dipimpin Saiful Mujani menyebutkan persentase konstituen milenial mencapai angka 50% lebih dan diperkirakan akan terus bertambah dan mendominasi hingga 2047, tentunya dengan prakiraan seperti itu milenial akan menjadi kelompok konstituen paling seksi untuk digarap, baik dengan niat benar-benar memberdayakan (memberi kesempatan) kepada anak muda maupun sebatas ingin memperdayakan (memanfaatkan) anak muda untuk kepentingan yang sama sekali tidak progressif untuk anak muda itu sendiri.
Terkait Kuota Khusus 30% yang saya maksudkan di sini sebenarnya kita bisa belajar dari terobosan kebijakan yang sudah lama digarap dan bahkan dijalankan yaitu kuota khusus 30% untuk Perempuan, baik itu dalam kepengurusan di Partai Politik yang mensyaratkan 30% wajib di isi oleh perempuan maupun dalam kontestasi politik itu sendiri yang lebih praktis semisal kuota wajib 30% calon anggota legeslatif yang diusung dalam setiap pileg oleh seluruh Partai peserta pemilu yaitu 30% dari keseluruhan caleg yang diusung wajib diisi oleh perempuan.
Tujuan awal dari kebijakan ini adalah untuk memberikan (jaminan) kesempatan bagi Perempuan untuk berpartisipasi dalam politik yang pada akhirnya secara paralel diharapkan mampu mendorong keterlibatan (partisipasi) perempuan dalam proses pengambilan kebijakan Publik sehingga aspirasi (kepentingan) politik kaum perempuan bisa tersalurkan dan mendapatkan tempat dengan baik mengingat sebelumnya banyak kebijakan politik yang dinilai tidak pro terhadap perempuan.
Dalam konteks inipun menurut penilaian kami kuota khusus bagi perempuan itu masih belum cukup efektif untuk menjamin keterlibatan kaum perempuan dalam pengambilan kebijakan publik, misalnya kita bisa melihat meskipun 30% kuota caleg diberikan kepada perempuan namun setelah pemilu berlangsung belum pernah menghasilkan 30% kursi parlemen di isi oleh kaum perempuan.
Hal ini tidak terlepas dari aturan pemilu itu sendiri yang belum seutuhnya benar-benar bisa menjamin 30% perempuan yang sudah diberikan kuota khusus dalam pencalonan itu benar-benar bisa “masuk” hingga ke parlemen.
Terkait hal ini saya menawarkan solusi untuk memastikan bahwa 30% kuota politik kusus perempuan itu benar-benar efektif idealnya sistem pemilu atau regulasi pemilu kita harus disempurnakan misalnya dalam kuota pencalegan maka Partai Bukan sebatas mencalonkan dan memberikan nomor urut secara teratur satu perempuan harus ada di antara dua laki-laki, tapi juga untuk penentuan caleg yang lolos ke Parlemen juga harus bisa memastikan bahwa jika ada 3 kandidat yang lolos dari satu Partai maka wajib satu di antara tiga kandidat tadi harus diberikan kepada Perempuan, artinya di internal Partai tidak boleh ada pertarungan terbuka antara Perempuan dengan kontestan laki-laki.
Misalnya satu Partai mendapatkan suara untuk bisa meloloskan 3 caleg ke parlemen maka kandidat laki-laki harus dipertarungkan dengan sesama laki-laki dalam perhitungan perolehan suara terbanyak sehingga dua kontestan laki-laki yang mendapatkan suara terbanyak yang harus diberikan TIKET ke Parlemen sementara sisa satu kursi lagi WAJIB diberikan kepada kontestan Perempuan yang mendapatkan suara tertinggi dibandingkan kontestan lainnya di Internal Partai.
Sehingga nantinya diharapkan perempuan bukan hanya mengisi 30% kuota pencalonan dan kepengurusan di setiap Parpol tapi juga bisa dipastikan bisa mengisi 30% Kursi di Parlemen minimal mewakili Parpol dan Dapil masing-masing dan pada akhirnya ketika parlemen sudah di isi oleh 30% Perempuan maka kebijakan publik yang diambil bisa mewakili aspirasi dan lebih pro pada kepentingan Perempuan.
Nah, demikian juga dengan wacana 30% Kuota Khusus untuk Kontestan Milenial atau Anak Muda di bawah 30%. Artinya keterlibatan anak muda bukan sebatas dalam proses kontestasi tapi juga sebisa mungkin di dorong dan upayakan TERJAMIN hingga ke tahap keterwakilan di Parlemen yang pada akhirnya juga diharapkan mampu menyuarakan aspirasi kaum muda dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan Publik.
Artinya dengan kebijakan 30% Kuota Khusus untuk Pemuda di bawah 30% diharapkan anak muda benar-benar terlibat dan mendapatkan kesempatan memperjuangkan aspirasinya hingga menjadi kebijakan dan program kongkrit pemerintah yang lebih pro terhadap kepentingan mereka sebagai anak muda dalam semua sisi kehidupannya, baik dalam peningkatan peluang kerja, peningkatan kualitas SDM anak muda maupun kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kaum muda lainnya.
Saya yakin dan percaya bahwa hanya anak muda sendiri yang paham kebutuhannya baik hari ini maupun masa depannya dan juga masa depan negeri ini secara keseluruhan nantinya.
Lalu timbul pertanyaan bukankah selama ini anak muda memang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam politik di negeri ini? Benar bahwa mereka sudah terlibat dan dilibatkan, tapi tidak lebih dari sekedar objek yang setiap detiknya diekploitasi demi kepentingan kaum tua negeri ini, terbaru kasusnya bisa kita lihat dalam kisruh Erick Tohir sebagai menteri BUMN dengan Adian Cs, jelas terbaca anak muda diekploitasi sedemikian rupa demi kepentingan Praktis nan pragmatis tetua negeri ini.
Harapan saya nantinya komposisi perpolitikan kita nantinya di isi oleh 30% Perempuan, 30% Kaum Muda dan sisanya untuk para tetua negeri yang mengaku cukup berpengalaman dan merasa masih cukup pantas dan nyatanya memang masih cukup perkasa mengotak-atik negeri ini sesuai keinginan mereka hingga negeri ini kita dapati dalam kenyataan seperti yang kita hadapi sekarang dengan segala dinamika dan persoalan yang tak kunjung usai, sudah 75 tahun Indonesia merdeka, sudah 15 tahun Aceh kembali berdamai, tapi apa?
Kehidupan kita kiri kanan masih dihadang oleh persoalan, semoga wacana yang saya lemparkan ini menjadi pemantik agar anak muda semakin sadar bahwa sesungguhnya mereka wajib terlibat dan hanya mereka yang dapat, tau dan mampu menentukan kebijakan apa yang progressif bagi mereka dan negeri ini le depan.
Wahai tetua negeri ini, iklaskah anda untuk benar-benar memberikan kesempatan pada anak muda? Adakah kandidat yang akan berkontestasi atau Partai yang mau menampung aspirasi kami sebagai kaum muda? Mari kita bergandengan tangan!
Oleh: Rola Zein
Mahasiswi UIN Ar-Raniry Berdomisili di Banda Aceh
Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Komentar