Apa yang terjadi pada negeri ku, kutukan atau kecanduan.
Setiap hari di pelosok desas-desus kaum miskin.
Mereka mengasuh dan mengasih demi menghidupkan gotong royong.
Senyuman anak-anak desa di kedalaman belantara di ijung palau sumatera.
Apa yang terjadi pada negeriku, kutukan atau kecanduan.
Bertahun-tahun masyarakat dalam peperangan.
Hingga lupa cara bercocok tanam dan melukis.
Setiap waktu ketegangan terus terjadi dari malam sampai pagi.
Apa yang terjadi pada negeriku, kutukan atau kecanduan.
Ratusan tahun lalu sangmahkota memimpin gerilya dengan hormat.
Para moyang berdiri kokoh dalam peperangan untuk menengakan agama, adat dan sejarah.
Apa yang terjadi pada negeriku, kutukan atau kecandua.
Mereka melukis sejarah dengan tinta darah yang tak merelakan negerinya dijajah.
Pesannya padaku dalam bait sejarah itu.
Hari ini apa yang terjadi pada negeriku, yang terkutuk atau yang kecanduan.
Hari demi hari perjanjian terus berlalu.
Para syuhada yang gugur sedih dalam kubur.
Saat detik-detik melihat kalian tak akur.
Apa yang terjadi pada negeriku, kutukan atau kecanduan.
Sang panglima melangar sumpah atau sedang pasrah di bius penjajah.
Ini kutukan atau kecanduan oleh pereng darah dalam sejarah.
Rencong-rencong dan bedil-bedil di patah.
Barangkali itu bertanda senja telah tiada.
Suara kutukan gemuruh dari ujung ke ujung .
Wahai panglima bersumpah kembali membawa arah.
Badai akan berlalu saat kau mulai berseru terang dan gersang.
Jangan akalmu di bedil benalu yang membunuh mu berlahan-lahan .
Hingga kau terpapar pasrah dan mati sudah.
Oleh : Iswandi
Putra daerah Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara, Aceh.
Komentar