Menakar Sanksi Pidana Bagi The Uncle

NANGGROE.MEDIA | Istilah “paman” dan “keponakan” menjadi begitu gemuruh dikalangan Masyarakat Indonesia belakangan ini, pasalnya istilah ini ditujukan kepada hubungan antara Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu Anwar Usman dengan Walikota Solo atau putra Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka.

Berawal dari MK mengabulkan permohonan pengujian undang-undang terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh seorang mahasiswa dengan dalil kerugian konstitusionalnya terlanggar karena ia tidak bisa memilih Gibran dalam pemilu sebagai calon yang diinginkannya karena batas usia yang disyaratkan UU Pemilu tidak dapat dipenuhi oleh Gibran dengan kualifikasinya yang sekarang.

Singkatnya melalui permohonan itu kemudian MK mengabulkan permohonan pemohon itu lewat Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan menyepadankan syarat usia dimaksud dengan “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut ternyata Anwar Usman yang merupakan ipar Jokowi atau istri adiknya Jokowi atau paman daripada Gibran ikut aktif didalamnya, padahal dalam perkara-perkara lain yang serupa Anwar Usman justru tidak ikut memutus.

Disinilah kemudian permasalahan mulai bertambah ruwet, hingga pasca putusan itu ketua MK ini akhirnya dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Anwar Usman sebagai orang yang memiliki ikatan kekerabatan dengan pihak yang berperkara sudah semestinya mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu sesuai dengan asas judicial disqualification dan sebagaimana juga diatur lewat Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana “seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara”. Tetapi justru oleh Anwar Usman hal ini sama sekali tidak dihiraukan.

Namun berkaitan dengan Pasal 17 itu terdapat sedikit perdebatan yang akdemis, apakah ketentuan itu berlaku bagi “Hakim Konstitusi” karena frasi yang disebut disitu adalah “hakim” yang dinilai lebih merujuk pada hakim-hakim dibawah Mahkamah Agung sebab dalam ketentuan umumnya pun UU tersebut memisahkan hakim-hakim menjadi beberapa kategori pembagiannya tersendiri baik misalnya itu Hakim, Hakim Agung, Hakim Konstitusi. Hal ini kemudian dijawab dalam Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023, dalam poin pertimbangan dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan (5) juga berlaku bagi hakim konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang menjadi kewenangan MK.

Berdasarkan putusan MKMK tersebut kemudian Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim diantaranya prinsip keberpihakan dan independensi.

Tindakan Anwar Usman yang tidak mundur dari perkara yang ditanganinya padahal ia memiliki kepentingan didalamnya baik itu secara langsung atau tidak langsung yakni dimana permohonan itu terkait dengan Gibran langsung sebagai barometer pengujian itu, yang mana diketahui bahwa Gibran merupakan keponakannya yang berpotensi besar akan dicalonkan sebagai wakil presiden oleh salah satu partai patu dipertanyakan soal independensi dan ketak berpihkannya.

Padahal dalam ketentuan Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman jelas disebutkan bahwa Anwar Usman mesti mundur dari memeriksa perkara itu.

Tidak hanya berakhir sebatas itu, dalam ayat (7) berikutnya dari Pasal tersebut dalam UU Kekuasaan Kehakiman dimaksud ternyata baik hakim atau panitera yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) itu dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tentu suatu norma undang-undang ketika telah disahkan menjadi undang-undang maka sejak saat itu pula kekuasaan dan kekuatan eksekutorialnya mulai berlaku.

Lalu menjadi pertanyaan bagaimana ketentuan pidana yang bisa menjadi sebagai konsekuensi bagi “The Uncle”? sederhananya muatan pidana dari tindakan pelanggaran itu dapat dirunut kedalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Bersih Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme.

Tindakan Anwar Usman tersebut merupakan tindakan yang jika diperhatikan memiliki potensial muatan nepotisme, yang oleh Pasal 1 angka (5) UU tersebut didefinisikan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Tindakan nepotisme ini kemudian ditegaskan didalam Pasal 5 ayat (4) UU tersebut sebagai suatu perbuatan yang dilarang bagi penyelenggara negara. Sebagai konsekuensinya setiap penyelenggara negara yang melanggar hal ini diancam dengan pidana minimal 2 tahun dan maksimal 12 tahun dengan denda minimal dua ratus juta dan paling banyak satu miliar rupiah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 UU tersebut.

Tentu pertanyaannya adalah mungkinkah “sang Paman” dijerat dengan ketentuan pidana tersebut? Rasanya, setelah adanya putusan MKMK dimaksud diatas justru lebih membuka “jendela” yang semakin gamblang menunjukkan adanya nepotisme didalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu.

Penulis : Alfathur Rizki, S.H Alumni Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

 

 

 

Komentar