NANGGROE.MEDIA | Secara Literatur Muda itu menjurus kepada 2 Generasi, Yaitu Generasi Z dan Generasi Millenial, Adapun Gen Z, merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 8-23 tahun. Sedangkan Milenial yaitu generasi yang lahir pada 1981-1996 (saat ini berusia 24-39 tahun).
Dalam Webinar Kebangsaan bertemakan “Memilih Pemimpin Ideal untuk Masa Depan Bangsa, Hak Pilih Ku Harus Digunakan Sebaik-baiknya” yang digelar oleh Forum Osis Nasional (FON) pada 23 Juni 2023, anggota KPU August Mellaz sebagai narasumber menyatakan 55-60 persen (dikutip dari majalah tempo).
Kemudian selanjutnya Pengertian Pembegal secara Etimologi adalah Merampas di Tengah Jalan sedangkan Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai Ketatanegaraan sebuah negara. Penjelasan awal di atas selaras dengan Fenomena Politik yang terjadi belakangan ini di Indonesia dalam Proses pesta demokrasi di Tahun 2024 nanti. Yaitu terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap permohonan pengujian undang-undang (judicial review) mengenai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 169 huruf q yang mengatur batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden yang memperbolehkan Calon presiden dan Calon wakil presiden Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat kontroversial dan banyak di tolak di Nasional baik oleh Ahli Hukum, Akademisi, Mahasiswa dan Unsur masyarakat sipil lainnya dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian menjadi kendaraan politik bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Calon Wakil Presiden yang di perkirakan penuh conflict of Interest dikarenakan Anwar Usman Merupakan Pamannya Gibran dan Rencana Menjalankan Politik Dinasti dari Presiden Jokowi untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya setelah ia pensiun di tahun 2024 nanti.
Perspektif Hukum
Jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 17 Ayat (3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Kemudian Ayat (4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
Dan Ayat (5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Kemudian di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi juga secara Eksplisit telah disebutkan bahwa Hakim Konstitusi Harus menghindari Conflict of interest dalam memutus perkara.
Dari awal saja, keterlibatan Anwar Usman yang ikut memutus perkara sudah di tidak fair dan tidak etis, dikarenakan hubungan kekeluargaan antara Gibran dengan Anwar Usman, sebab pemohon Almas Tsaqibbirru pada perkara ini menyebutkan salah satu alasan dia Menggugat Batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden ini karna kekaguman nya kepada sosok Gibran Rakabuming Raka, sehingga beberapa kali Hakim Konstitusi mempertanyakan alasan tersebut.
Selanjutnya secara Legal Standing Pemohon tidak kuat karna tidak mencerminkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami langsung, serta bersifat spesifik dan aktual, sedangkan pada Almas sendiri tidak mendapatkan dampak secara langsung terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, karna dia belum pernah mengikuti Kontestasi Pemilu atau pun Pilkada. Yang lebih menarik lagi yaitu terkait dissenting opinion beberapa hakim konstitusi yang menyebutkan ada intervensi yang luar biasa untuk mempengaruhi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini. Padahal sebelum nya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materi dari para pemohon. Sehingga MK menyatakan para pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo, dan ini juga bertentangan dengan Azas Hukum Ne Bis In Idem.
Plot twist dari kasus ini adalah Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap Anwar Usman Yaitu putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023, yang berbunyi ; Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan,; Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor.
Seharusnya Gibran Rakabuming Raka malu untuk tetap melanjutkan proses pencalonan dirinya sebagai Calon Wakil Presiden karna MKMK telah memutuskan bahwa Anwar Usman salah dalam memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan melakukan pelanggaran kode etik berat, inilah yang kemudian memunculkan istilah pembegalan Konstitusi, rakyat disuguhkan permainan kotor para elit politik dalam merusak Marwah Mahkamah Konstitusi hanya untuk memuluskan syahwat politik dan kekuasaan saja, padahal MK sebagai Guardian’s of Constitution (pengawal Konstitusi) menjadi tempat terakhir bagi rakyat untuk mencari keadilan, namun sekarang hanya menjadi alat mainan para elit politik saja, yang berdampak terhadap merosotnya kepercayaan publik terhadap Lembaga Mahkamah Konstitusi saat ini.
Degradasi Pengkaderan Kepemimpin Nasional
Dampak dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kemudian bisa meloloskan Gibran meskipun amoral secara hukum tidak hanya berdampak terhadap Distrust masyarakat kepada Lembaga Peradilan, namun juga berdampak terhadap degradasi Perkaderan Kepemimpinan di tingkat nasional, Calon Pemimpin muda tidak lagi hadir berdasarkan Proses, Kapasitas, dan kompetensi diri, tapi calon pemimpin muda bisa hadir karna Privilege dan pengaruh yang besar dari kekuasaan, partai-partai yang mempunyai ideologi yang kuat dan perkaderan berjenjang dari daerah sampai nasional seakan-akan harus menelan ludahnya sendiri, ketika akhirnya mengakomodir calon pemimpin karbitan hasil dari pembegalan Konstitusi.
Proses menjadi pemimpin yang seperti ini sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia kedepannya, demokrasi tidak lagi berbicara substansial dan kehendak rakyat, tapi demokrasi hanya menjadi jargon dan alat pengendali kekuasaan oleh para penguasa, anak muda kedepannya tidak lagi mau memantaskan diri dan berproses di Organisasi ataupun partai politik, namun yang anak muda cari adalah akses dan kedekatan dengan kekuasaan agar mendapatkan Privilege untuk menjadi calon pemimpin, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, dan ini sangat berbahaya dalam pengelolaan negara kedepannya, karna yang dipertaruhkan adalah masa depan Negara dan Rakyat.
Seyogyanya anak muda harus objektif dalam melihat calon pemimpin muda di tahun 2024 nanti, karna muda itu tidak hanya di lihat dari sudut pandang umur semata, muda itu adalah Representatif keterwakilan secara Gagasan, konseptual, dan bisa mengakomodir kebutuhan kaum muda kedepannya, calon pemimpin muda “demagog” yang lahir dari pembegalan Konstitusi tidak layak menjadi representatif anak muda, karna ia tidak mempunyai etika dan moral dalam Bernegara, sangat Machiavelisme, menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan kekuasaan, anak muda yang kita dorong sebagai pemimpin adalah mereka-mereka yang mempunyai Track record berproses dan leadership yang bagus, mempunyai kapasitas dan kapabilitas, dan yang terpenting punya kompetensi diri bukan dengan cara membegal konstitusi.
Penulis : Muhammad Fadli Ketua Umum HMI Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara Periode 2021-2022
Komentar