Sebagai pemegang mandat dari rakyat, mensejahterakan dan menciptakan terwujudnya keadilan sudah menjadi kompetensi pemegang kekuasaan/pemimpin.
Sumbangsih gagasan yang membangun wajib di laksanakan oleh pemimpin sebagai penguasa di wilayah dipimpin nya, semua itu demi terlaksananya pemerintahan yang baik (Good Governance) dan mencapai kemakmuran bagi rakyat lewat kebijakan.
Namun, sebagai makluk Tuhan yang nisbi, pemimpin juga bisa khilaf dan salah, oleh karena nya memberikan teguran, baik lisan maupun tulisan harus di lakukan demi tercapai birokrasi yang baik.
Bahkan, negara yang memiliki sistem pemerintahan demokratis ini, memberikan ruang sebesar-besarnya kepada warga negara untuk berpendapat, dan mengkritisi pemerintahan bagian dari iklim demokrasi itu sendiri.
Tak ada yang salah dengan kritik, semua itu adalah penyeimbang demokrasi, bahkan pemerintah idealnya mengapresiasi kepada warganya yang masih kritis, dengan itu kekurangannya dapat diketahui, dan menjadi refleksi untuk wilayahnya yang lebih baik.
Namun, setiap kritik bukannya malah menjadi evaluasi pejabat, masih ada kritik sipil yang di bangun, di sangkut pautkan dengan ujaran kebencian.
Maka tak heran, masih ada manusia di republik ini sikap kritis nya harus berakhir dan akhirnya di pidana dan masuk dalam ruang pengap/jeruji dengan dalih pencemaran dan ujaran kebencian.
Bermacam jenis pejabat pada hari ini, bahkan masih ada yang bebal dan berkuping tipis, kritik dari masyarakat nya di anggap kebencian, dan secara tak dewasa tetap masih ada pejabat yang membawa permasalahan kritik dari rakyat nya ke meja hijau.
Rakyat hari ini bingung, apalagi harus dilakukan, saat menyampaikan hak konstitusional nya, malah di laporkan.
Tidak ada yang salah saat pejabat melaporkan rakyat, namun sebagai negara hukum, hukum sendiri memiliki tiga tujuannya, yang tidak hanya mengacu kepada kepastian hukum. Namun, juga mempertimbangkan kemanfaatan dan keadilan bagi kemanusiaan.
Tapi apalah manfaat dan adilnya? Saat kritik yang dilakukan rakyat malah di laporkan?. Bahkan, akibat tipis nya kuping pejabat yang demikian, citra kepemimpinan menjadi buruk yang tak siap menerima kritikan.
Sekarang, rakyat seperti memakan buah simalakama, serba salah, saat diam maka tetap di tindas, bangkit melawan malah di laporkan, masih ada Kepala daerah yang berbuat demikian kepada rakyat nya, membuat soft terapi agar kritik itu tak pernah ada, supaya pemerintahan yang di pimpin nya berjalan mulus tanpa teguran.
Rakyat hari ini, terpaksa menelan ludah sendiri melihat perlakuan pemimpin nya yang menjadi-jadi, hendak bicara takut di bungkam, seolah pemimpin hari ini punya apa saja, dan ruangan pengap itu siap menampung mereka (rakyat).
Rakyat hari ini, menjadi bingung dan gelisah, namun yakin dan percayalah saat masih ada tipikal pemimpin layaknya Fir’aun yang rakus, tetap akan timbul pejuang seperti Musa yang tulus dan berharap agar siklus ini akan terus berlanjut sampai bumi dan semesta semuanya mati (Kiamat).
Oleh : Arwan Syahputra
Pegiat Kebijakan Publik Kabupaten Batu Bara
Tulisan ini milik dan sepenuhnya tanggungjawab penulis.
Komentar