Dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan bahwa banyak hal yang dilupakan dalam era posmoderenisme dewasa ini, barangkali ini suatu sikap apatisme para perempuan yang tidak lagi peduli terhadap hak-haknya di ruang publik,menjadi pejabat publik, menjadi politisi dan bahkan mejadi pekerjaan yang setara dengan kaum laki-laki.
Sepanjang sejarah manusia, tidak bisa di mungkiri bahwa di dalam setiap masyarakat perempuan mendapatkan peran yang lebih rendah (subordidat), yang terbatas sebagai ibu rumah tangga dan terasing dari ruang public.
Dari waktu ke waktu, muncul protes bahwa peran ini gersang, bahkan beberapa pemikir telah mengemukakan alternatifnya (misalnya dalam karya plato, Republik), di mana iya menyatakan bahwa perempuan juga cocok sebagai filosof penguasa sebagai mana laki-laki.
Perempuan pada masanya perlu dalam fikir yang berkelanjutan biar kemudian tidak tersruktur kedalam pemahaman yang lebih sempit, seperti idiologi liberal awal di dasarkan pada akal mereka. Istilah ‘laki-laki'(man) di gunakan secara ginetik (nyakni berarti ‘humanity’).
Namun, dalam teorisasi awal, hanya sisi laki-laki dari humanity yang mendapatkan hak-hak itu secara alami. Locke, misalnya, tidak menyertakan hak sipil dan politik ke dalam hak-hak perempuan meskipun ini tidak memberikan alasannya.
Sementara Rouseseau, yang jauh lebih egalitarian, menegaskan: karena sifat sexnya, perempuan lebih cocok untuk berperan sebagai penyenang kaum laki-laki, mengurus suami dan keluarga, baru pada saat terjadi revolusi prancis, muncul karya teoretis yang menengaskan bahwa perempuan memiliki hak-hak alami sebagai mana yang di alami oleh kaum pria,.
Diterbitkanya karya Edmund Burke, Reflecsions on the Revolution in France, tahun 1790 telah memancing tanggapan yang radikal, termasuk tanggapan dari karya seorang feminis besar pertama, Vindication of the rights of women(1792) Mary wollstonecraft.
Pada dasarnya, karya ini menerapkan nilai dan argumen liberal pada kasus perempuan ,pandangan bahwa posisi inferior wanita merupakan suatu yang alami dan pemberian tuhan dan bahwa peran dominan mereka terletak di dalam masalah seksual.
Yakni peran menyenangkan laki-laki dan pengurus keluarga di tolak oleh Mary Wollstonecraft, pada dasarnya sifat perempuan adalah sifat manusia, bagaimanapun, perempuan adalah makhluk yang rasional, karna itu iya berhak mendapatkan hak menentukan diri sendiri yang sama sebagai mana laki-laki.
Kita melihat bahwa, jika kaum perempuan sering tampak kurang sesuai dengan tanggung jawab yang lebih luas, hal ini dikarnakan mereka tidak di didik atau tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri, bakat atau karakter mereka, mereka di besarkan untuk bergantung ,tunduk dan emosional, karna masyarakat mempunyai persepsi yang salah tentang sifat mereka yang sebenarnya, jika mereka mendapatkan pendidikan yang layak, dapat memiliki hak-hak sipil secara penuh.
Wollstonecraft sedikit ragu dengan pandangan bahwa hanya ada sedikit perempuan luar biasa yang mampu mengejar karirnya secara mandiri, sementara sebagian besar perempuan akan merasa puas berperas sebagai istri dan ibu.
Meskipun demikian, dengan pendidikan yang layak, berkurangnya kebergantungan pada suami, dan kemampuan untuk bekerja, meskipun semua ini tidak di teruskan, akan membuat perempuan menjadi istri dan ibu yang mandiri, dengan mengunakan akal dan kemampuan(meskipun tidak semata mata dalam hal ini) seorang perempuan akan menjadi manusia seutuhnya.
Dengan tidak menantang keluarga, atau tangung jawab tradisional perempuan di dalam nya,Wollstonecradt termasuk salah satu pemikir paling liberal,baik di antara kelompok feminisme maupun kelompok nonfeminis.
Argumen-argumen serupa di kemukakan para penteoritisi liberal laki-laki maupun perempuan,(yang paling terkenal adalah Jhon stuart Mill) selama abad ke 20 ,mereka mendorong tumbuhnya gerakan perluasan hak-hak perempuan di eropa, Amerika dan bagian kerajaan inggris lainya,
Hasilnya, terjadilah perluasan terus menerus hak-hak sipil perempuan pada akhir abad ke- 19 ,termasuk hak kepemilikan (property) di dalam perkawinan, pendidikan dan profesi yang lebih tinggi.
Setelah serangkaian kompanye yang militan,seperti yang di lakukan oleh kelompok Suffragate di inggris, hak-hak perempuan di perluas ke dalam hak-hak politik,terutama setelah Perang Dunia I.
Kemudian, persoalan perempuan telah di angkat oleh ideologi-ideologi lain, terutama sosialisme dan marxisme ,sejak awal permulaan tradisi sosialis ,teoritis yang paling sosialis adalah kalangan feminis yang antusias, Hal ini karena kaum sosialis,( nyakni, mereka yang kita sebut ‘kaum sosialis klasik’, yang berusaha menghapuskan Kapitalisme).
Jika kita melihat secara umum kaum feminisni ini inggin menghapuskan keluarga sama sekali, contoh yang terbaik adalah pemikir sosialis ‘Utopian’, Charles Fourier, ia melihat sejarah dari segi serangkaian tahap-tahap kemajuan, Ia melihat status dan perlakuan terhadap perempuan sebagai indikator kritis tentang gerak kemajuan.
Semakin tinggi status dan kebebasan perempuan, semakin maju tahap sebuah peradaban, Akhirnya, didalam sebuah masyarakat ideal dari komun-komun yang bekerjasama(sebagai mana yang di bayangkan oleh Charles fourier), keluarga yang besifat restriktif akan menghilang dan perempuan akan mendapat mengembangkan diri secara lebih lengkap, saat hal ini terjadi, fourier percaya, kaum perempuan akan melebihi kaum laki-laki dalam hal kualitas carakter dan hasil aktivitas yang tidak tergantung pada kekuatan fisik.
Ia juga melihat keluarga dan perkawinan monogami sebagai hal yang menindas kaum perempuan,di masa depan, laki-laki dan perempuan akan memilih partner sesuai dengan kecenderungannya ,misalkan dalam ‘phalansterytery’ fourier, akan ada ‘sistem hotel’ dengan akomudasi pribadi dan pelayanan umum,seperti akan kebutuhan makan dan mencuci, yang akan dilaksanakan oleh mereka yang di pilih untuk menjalankan tugas-tugas ini, demikain pula anak-anak akan di pelihara secara komunal oleh mereka yang spesialis dalam kerja ini.
Sementara di sisi lain, kaum perempuan masih dapat meninggalkan ruang kerja untuk memberi kasih sayang pada anak-anak.
Sistem seperti ini akan membebaskan kaum perempuan untuk menjalankan segala pekerjaan yang mereka suka berdasarkan alasan yang biasa dipakai oleh kaum laki-laki.
Kalo perkawinan monogami, fourier sangat keberatan bagaimanapun itu suatu hal yang aneh, karena dalam pemikiran sosialis pun penghapusan keluarga tidak di maksudkan untuk menghapuskan perkawinan.
Dalam argumen yang lebih umum adalah bahwa, dalam sistem kapitalis, kaum perempuan telah mendapatkan kesetaraan formal dengan suami mereka, tetapi dalam kenyataan, mereka memiliki kedududkan yang lebih rendah karena kekuasaan ekonomi dari suami, (yakni, sang suami memiliki kekuasaan dan kontrol atas barang-barang keluarga,dan seterusnya).
Dalam masyarakat sosialis, pemikiran-pemikiran seperti ini (pemikiran tentang penghapusan perkawinan) sebenarnya tidak muncul, dan perkawinan melainkan di anggap sebagai berpasangan yang di dasarkan pada kesetaraan yang sejati.
Penulis : Iswandi
Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, Universitas Malikussaleh.
Isi tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.
Komentar