PILKADA 2020 ditengah pandemi telah memasuki masa kampanye terhitung sejak 26 September hingga 5 Desember 2020 mendatang sebagaimana yang tercantum dalam PKPU Nomor 5 tahun 2020. Pilkada 2020 merupakan proses peralihan kekuasaan 5 tahunan di Indonesia atau dikenal dengan sebutan “pesta demokrasi”. Namun pelaksanaan pilkada 2020 ibarat perjudian besar yang sedang dilakukan elit politik ditengah pandemi covid-19 yang melanda Indonesia.
Dalam bentuk demokrasi plato mengatakan kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan (Mirriam Budiarjo,2008). Pilkada secara langsung ialah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Konsep dasar demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat artinya rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi.
Pelaksanan Pilkada ditengah pandemi menjadi hal yang mengkwatirkan terkait banyaknya calon kepala daerah yang melanggar aturan terkait penerapan protokol kesehatan baik saat pendaftaran dengan mobilisasi masa maupun saat proses kampanye. Sejak masa kampanye banyak calon kepala daerah melakukan pelanggaran protokol kesehatan, hal ini merunjuk dari data rilis bawaslu terdapat 375 pelanggaran dalam penerapan kampanye tatap muka terbatas (rumahpemilu.org,2020). Tentu ini dapat tidak bisa disepelekan, sebab ini menyangkut kesehatan masyarakat banyak. Jangan sampai alasan hak memilih dan dipilih adalah hak konstitusional mempertaruhkan keselamatan rakyat.
Pilkada di Indonesia dan Korean Selatan ditengah Pandemi
Hingga saat ini pandemi covid-19 masih terus melanda belahan dunia, tak ada kepastian akan berakhir. Namun beberapa negara tetap melaksanakan pemilihan umum, Korean Selatan misalnya, tetap melaksanakan pemilu disaat pandemi. Penyelenggaraan pemilu korea selatan ditengah pandemi terbilang sukses, karena terjadi peningkatan partisipasi pemilih sejak tahun 1992, partisipasi pemilih dalam pemilu Korea Selatan mencapai 66 persen atau meningkat 8.1 persen dari pemilu sebelumnya (politik.lipi.go.id, 2020).
Selanjutnya, otoritas pelaksana pemilu di Korea Selatan menerapkan mekanisme pemungutan yang tidak mengundang berkumpulnya masa. Pertama, pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dua hari sebelum sebelum hari pencoblosan. Kedua, pemilih menggunakan hak pilihnya melalui surat dengan mengisi blanko yang telah ditetapkan pihak penyelenggara yang nantinya dikirim melalui pos kepada penyelenggara. Kedua mekanisme ini menjadi salah satu kunci keberhasilan pemilu di korea selatan. Suksesnya penyelenggaran pemilu korea selatan ditengah pandemi tidak terlepas sistem politik yang baik, penanganan covid-19 yang cepat dan tepat serta kepercayaan publik terhadap penyelenggara.
Keberhasilan Pemerintah Korea Selatan melaksanakan Pemilu ditengah pandemi covid-19 juga tidak terlepas dari regulasi dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang tepat dalam kondisi darurat menjadi salah satu kunci suksesnya Korea Selatan menyelenggarakan pemilu ditengah wabah covid-19.
Di Indonesia, pilkada serentak tahun 2020 akan diselenggarakan di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota dengan total 305.000 TPS. Tentu hal ini menjadi penting karena pesta demokrasi tahun ini akan dirayakan ditengah pandemi covid-19. Berbeda dengan penyelenggaraan pemilu di Korea Selatan, pilkada di indonesia dinilai belum diatur secara matang, aturan pelaksanaan pilkada juga terlihat belum relevan dengan situasi pandemi yang melanda Indonesia saat ini.
Pelaksanaan pilkada saat kasus positif covid-19 kian meningkat seakan dipaksakan. Pasalnya, sejumlah calon kepala daerah terpapar covid-19. Data KPU pada tanggal 16 September, sebanyak 59 orang bakal calon kepala daerah dinyatakan positif covid-19 yang tersebar di 21 provinsi serta sebanyak 3 calon kepala daerah meninggal akibat covid-19. Bahkan 3 komisioner KPU Pusat dinyatakan positif covid-19 (tempo.co, 2020). Kondisi ini semakin mengkwatirkan keselamatan banyak orang serta manjadi ancaman nyata kontestasi pilkada 2020.
Pilkada 2020 dan Kluster Baru Covid-19
Ketidaksiapan kerangka hukum penyelenggaraan pilkada dalam kondisi pandemi covid-19 menjadi sinyal agar pelaksanaan pilkada tunda sembari menyiapkan aturan hukum yang relevan ditengah wabah covid-19. Penundaan pilkada ini juga semakin relevan disaat performa pemerintah dalam penanganan covid-19 yang buruk terutama dalam penanganan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pasangan calon kepala daerah.
Hal lain ialah penyelenggaraan pilkada dalam kondisi pandemi terbilang minim inovasi. Pertama, KPU masih menggunakan metode lama dalam pemungutan suara dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Kedua, aturan kampanye tatap muka terbatas dengan memperhatikan protokol kesehatan nyatanya banyak dilanggar oleh pasangan calon, aturan kampanye secara virtual gagal terlaksana. Hal ini terbukti masih banyak calon kepala daerah yang melanggar aturan pelaksanaan pilkada terutama aturan penerapan protokol kesehatan dalam proses kampanye.
Kasus pandemi covid-19 terus meningkat, tahapan pilkada pun terus berlanjut. Pilkada ditengah pandemi diyakini publik akan menjadi epicentrum baru penyebaran covid-19. Kenapa demikian? Hal ini karena tahapan kampanye akan menimbulkan kerumunan masa. Direktur Indo barometer Muhammad Qodari menyampaikan, di pilkada serantak ini akan ada 1.042.280 titik kerumunan masa selama kampanye tatap muka terbatas selama 71 kedepan (detiknews, 2020). Tidak hanya itu, hari pencoblosan akan berpotensi terjadinya kerumunan di 305 TPS yang telah ditetapkan oleh KPU, Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka ini tidak dapat dipungkiri pilkada akan menjadi kluster baru penyebaran covid-19 secara nasional.
Untuk itu, para stakeholder harus segara evaluasi penyelenggaraan pemilu melihat kasus covid-19 terus meningkat. Pertama, penundaan pilkada sambil menyiapkan aturan hukum yang lebih relevan dalam kondisi wabah covid-19. Kedua, menambah jumlah TPS untuk meminimalisir kerumunan pada saat pencoblosan. Ketiga, menyiapkan sistem pencoblosan yang tidak menimbulkan kerumunan dalam hal ini dapat berupa pemungutan suara melalui kantor pos maupun penghitungan suara secara elektronik. Keempat, pemerintah segera menyiapkan aturan hukum yang tegas terhadap calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan agar ada efek jera. Bukankah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi dan hak untuk hidup ialah hak asasi manusia yang harus dikedepankan oleh negara dan Negara juga harus benar-benar hadir dalam menjamin keselamatan warganya pada dimasa pandemi covid-19 ini.
Oleh : Muhammad Syuhada, S.IP
Alumnus Ilmu Politik Fisip Unsyiah dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Komentar