Nanggroe.net | Aceh Utara – Syahdan, di sebuah hutan rimba, hiduplah Harimau Si Raja Rimba yang memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari, Sang Harimau mendengar kabar, dikalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risih dengan desas-desus itu, si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk mendapat kepastian.
Mula-mula, dia memanggilku pimpinan binatang anjing, seekor Herder yang besar.
“Menurutmu, benarkah badan saya ini bau ?”, Tanya harimau sambil menyorongkan badannya kepada Herder itu untuk dibau.
“Ampun Tuan Raja yang Mulia, memang benar, badan Tuan bau dan memualkan”, jawab herder tersebut dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah.
“Kurang ajar, berani benar kamu menghina raja di rimba ini”, kata sang harimau sambil menerkam dan merobek-robek si herder sampai lumat.
Kemudian, dipanggillah pimpinan rakyat kijang. “Apakah badanku ini bau ?”, Tanya harimau kepada pimpinan kijang itu.
Baca juga :Belum Berkantor di Lhoksukon, Ketua KNPI : DPRK Jangan Asal Bicara
Karena takut dirobek-robek seperti herder, maka setelah membau badan harimau, pimpinan kijang itu berkata “Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia harum menyegarkan”, katanya.
Tapi, tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang sambil mengaum keras. “Kurang ajar, munafik, berani benar kamu membohongi raja”, teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.
Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang dengan takut dan gelisah. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan harimau si raja rimba ? Kalau menjawab jujur seperti herder, bisa dirobek-robek karena dianggap berani kurang ajar. Kalau berbohong agar raja senang, bisa dicabik-cabik seperti kijang.
Ketika membau tubuh harimau, si kancil bersin “hasshimmmmmm” karena tubuh raja rimba itu memang baunya menyengat.
“Bagaimana menurutmu, Kancil ? Apa badan saya memang bau ?”, Tanya harimau sambil membentak.
Dengan gemetar, kancil itu menjawab. “Maaf Raja Rimba yang Mulia, saya sedang pilek, hidung lagi mampet, jadi tak tahu apakah badan Tuan bau atau tidak”, jawab kancil.
“Kok, tadi kamu bersin ? Apakah badan saya bau ?”, Kejar sang harimau.
“Ya, saya bersin justru karena pilik itu”, jawab kancil lebih berani. Sang harimau akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.
Apa pesan moralnya ?
Dari cerita itulah, dunia politik kita sering mendengar istilah politik kancil pilek, seperti halnya kita sering juga mendengar istilah politik Paku Abu Nawas. Politik kancil pilek diartikan sebagai politik diam meski melihat kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa.
Dinegara kita saat ini banyak politisi kancil pilek, terutama dalam penegakan hukum. Celakanya, banyak diantaranya yang menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukannya itu (ikut bau).
Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal, menurut teori dan fakta, hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kurangnya kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung hukum.
Dalam pada itu, lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum kerena takut pada terkaman harimau jahat, takut dicopot.
*) Tulisan ini dikutip oleh Razjis Fadli dari buku Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu (Prof. Mahfud MD)
Razjis Fadli | Aceh Utara
Komentar