Qanun Bendera, Manzahari : Omong Kosong (Bullshit) Atau ‘Uet Jaloe Toeh Kapai ?

Oleh : Manzahari

Nanggroe.net, Lhokseumawe| Polemik MoU Helsinki dan UUPA terkait Qanun Bendera dan lambang Aceh selalu muncul ke publik pada musim politik di Aceh dan saat memperingati hari perdamaian antara GAM dan RI, Apakah Pemerintahan Pusat yang omong kosong (Bullshit) Atau Pemerintah & DPR Aceh yang Toh Jaloe Uet Kapai (Raya Haba) ?

Relatif lama waktu 30 tahun Aceh dilanda konflik, antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh cucu Pahlawan Nasional Tgk. Cik Di Tiro yaitu Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A., LL.D., Ph.D dengan Pemerintah Pusat, hingga berakhir damai pada 15 Agustus 2005 melalui MoU yang ditandatangani oleh GAM & RI di Helsinki Finlandia.

Setahun kemudian pada 1 Agustus 2006 diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), UU tersebut merupakan transformasi dari MoU yang telah disepakati.

Banyak kelebihan Aceh menurut UU No. 11 Tahun 2006 yaitu penguatan kelembagaan adat melalui Lembaga Wali Nanggroe, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, penetapan syari’at Islam, penentuan lagu daerah dan lambang daerah, adanya kelembagaan peradilan adat, Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dapat melakukan kerjasama luar negeri hingga bidang politik daerah dengan adanya partai politik lokal dan calon independen dalam pemilukada.

Salah 1 keistimewaan yang dimiliki Aceh adalah lambang dan bendera Aceh, yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 pasal 246 Ayat 1, 2, 3 dan 4 serta Pasal 247 Ayat 1 dan 2. Lambang dan bendera yang dimaksud tidak merupakan simbol kedaulatan Daerah, melainkan sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.

Sudah cukup jelas Pemerintah Pusat menyetujui adanya bendera dan mengakui serta menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, merujuk pada UU No. 11 Tahun 2006 dan konstusi Negara Pasal 1 Ayat 1  UUD 1945 menyebutkan Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, serta Bab VI UUD 1945 Pasal 18 Ayat 2, 5, dan 6, Pasal 18A Ayat 1 dan 2 dan Pasal 18B Ayat 1 dan 2 juga menjelaskan lebih Konkrit terkait kewenangan Daerah.

Pengertian menurut Nur Aula Angkat yang mengutip pendapat Prof. Mahfud MD dalam karya ilmiahnya bahwa “Negara Kesatuan adalah negara yang kekuasaannya di pencar ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti daerah-daerah otonom mendapat hak yang datang dari, dan diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan konstitusi dan undang-undang”., ,.

Berangkat dari Kewenangan Daerah yang diberikan Pusat yang telah saya sebutkan di atas, DPRA bersama Gubernur Aceh menyetujui dan mengundangkan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada saat Periode Gubernur Zaini Abdullah.

Polemik muncul setelahnya, Bendera masih saja belum bisa berkibar di Aceh, Terhambatnya pelaksanaan Qanun tersebut terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, Pasal 6 ayat (4) mengatur: “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Lebih lanjut PP No. 77 Tahun 2007 menjelaskan yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.

Baca Juga :

16 Tahun Perdamaian Aceh, Prof. Apridar : Buah keberanian dan Konsistensi Pemerintahan SBY

Artinya Bendera Bintang Bulan di anggap bendera separatis, tidak hanya di anggap bertentangan dengan peraturan tertinggi sesuai dengan Azaz lex superior derogat legi inferior “aturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah”, pada Tahun 2016 lalu, DPR Aceh dan Pemerintah Aceh Mengklaim bahwa Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 telah dibatalkan sepihak oleh Kemendagri RI melalui Surat Nomor: 188.34/2723/SJ yang ditandatangani langsung Mendagri Tjahjo Kumolo dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia.

Membingungkan? Iya. Tujuan hukum selain kemanfaatan dan keadilan, juga terdapat kepastian hukum disana (rechtszekerheid), namun hingga saat ini 16 Tahun perdamaian GAM dan RI masyarakat Aceh masih dibuat bingung dengan kepastian  Hukum terkait bendera, Hemat saya secara yuridis Bendera dan Lambang Aceh sudah bisa dikibarkan. Tetapi secara politis tidak ada dukungan atau pengakuan Negara terhadap Qanun tersebut karena masih dianggap mirip atau identik dengan bendera separatis seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Padahal cukup jelas dalam Qanun bendera dan lambang Aceh, tujuan dibuatnya bendera dan lambang Aceh adalah untuk melambangkan syiar Islam, juga menegakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Meningkatkan ketentraman dan ketertiban dalam mewujudkan kedamaian Aceh. Selain itu untuk memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjunjung tinggi kehormatan dan martabat rakyat Aceh sebagai salah satu pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta sebagai kilas baru sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh yang serasi, selaras dan seimbang dengan daerah-daerah lain menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera dan bahagia.

Asumsi saya, upaya yang sudah dilakukan DPR Aceh dan Pemerintah Aceh untuk merealisasikan poin-poin perdamain melalui Qanun masih saja menjadi masalah bagi Pemerintahan pusat karna dianggap dapat mengancam integrasi Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Disini dapat kita lihat bahwa Aceh sudah kalah secara politik, artinya pemerintahan pusat juga tidak konsisten dalam menjalankan dan merealisasikan kesepakatan MoU Helsinki yang sudah sama-sama sepakat mengakhiri konflik (perang) secara bermartabat, dengan selalu mempersulit keadaan politik di Aceh, Omong kosong juga Pemerintahan Pusat (bullshit) dan yang perlu dan penting juga dilihat DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh sudah sejauh mana mampu bertarung Gagasan dalam memperjuangkan butir-butir perdamaian yang selalu menjadi bahan kampanye ketika musim politik datang? mereka juga tidak mampu.

Buktinya masyarakat Aceh masih dibuat bingung terkait kepastian Hukum Bendera, hingga belum juga merasa damai dan sejahtra seperti yang tertulis dalam Butir-butir perdamaian, nyatanya Provinsi Aceh masih menjadi juara bertahan sebagai Provinsi termiskin di Sumatra (‘Uet Jalo Toh Kapai cit).

Akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban, korban PHP dari wakil nya di Parlemen dan Pemimpin di pemerintahan Aceh, Begitu juga Pemerintahan Pusat tidak benar-benar serius dalam menjalankan kesepakatan untuk merealisasikan Butir-butir MoU Helsinki, Kesimpulannya DPR Aceh, Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat sama saja omong kosong, tidak begitu serius menyelesaikan persoalan MoU Helsinki demi kepentingan Masyarakat.

Sampai disini solusi yang bisa saya tawarkan,  jalan satu-satunya adalah musyawarah kembali, buang semua ego serta kepentingan, duduk bersatu stakeholder Aceh dan Pemerintah pusat untuk sama-sama konsisten dalam merealisasikan Poin-poin kesepakatan dalam MoU Helsinsi demi kepentingan Masyarakat Aceh, hingga perdamain benar-benar terwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu perdamaian abadi dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Komentar