Nanggroe.net | Gerakan kerakyatan yang dibangun oleh mahasiswa kini mendapat respon dengan 2 versi yang berbeda, ada yang menganggap gerakan itu sebagai media pembawa arus perubahan sipil namun ada yang menganggap gerakan ini justru sia-sia dan bahkan mengganggu wajah negara.
2 versi ini, tak perlu susah-susah ditemui berdasarkan riset dari lembaga yang diproduksi oleh tangan pejabat atau elite negara namun dapat dengan mudah dilihat dan dirasakan dalam kacamata realitas didalam alam sosial kemasyarakatan, ya mahasiswa berjuang antara dukungan, pembiaran dan bahkan kutukan.
Dilihat dari tahun 2020 sampai 2021 ini, entah berapa banyak mahasiswa yang telah ditangkap dan dibawa ke jalur litigasi, dan bahkan harus menguatkan mental yang dikurung dalam jeruji, akibat buntut dari aksi gerakan kerakyatan yang dibangun oleh mahasiswa si pewaris peradaban negeri ini.
Tak ada yang patut dipersalahkan sepihak, aparat dan lembaga peradilan menjalankan tugasnya, dan mahasiswa pun berjuang dengan tujuan baik yang berdiri diatas sumpah mahasiswa.
Saat kita menganalisa dan mengalirkan pertanyaan terkait masalah yang menimpa mahasiswa, mesti jawaban yang kita terima ‘kami hanya menjalankan tugas baik dari negara’, kembali kita perlu bertanya, tugas itu memang baik namun tugas yang baik itu untuk siapa? dan dimana berdiri tugas baik tersebut?.
Momen perjuangan itu tidak ada yang perlu disesali, karena penyelenggaraan tiap sisi perjuangan tentulah ada resiko, tak ada pilihan tanpa perjuangan dan tak ada perjuangan tanpa resiko (konsekuensi).
Mungkin masalah yang menimpa itulah bisa mematangkan kembali gerakan kerakyatan ala mahasiswa, yang mesti memakai cara kepiting, harus maju saat keadaan aman, dan mundur sejenak (bukan balik kanan) saat keadaan mencemaskan.
Cara kepiting ini bukan tanpa dasar, hal ini juga diajarkan oleh Datuk Ibrahim (Tan Malaka), yang dalam hal berperang ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yakni kekuatan, kecepatan dan momentum.
Tak ada guna kita bangun kekuatan, jika kecepatan kita lemah, dan tak ada arti kecepatan jika kita tak lihai memperhatikan momentum (Kapan kita maju, kapan kita harus bertahan, dan dititik mana kita sejenak harus mundur).
Banyaknya mahasiswa yang harus ditahan, ada yang menilai ‘ini mendegradasikan demokrasi’, dan bahkan lebih keras ada yang menilai ‘ini namanya pembukaman’, terlepas dari berbagai penilaian berbagai kalangan, yang pasti problem yang menimpa gerakan.
Mahasiswa saat ini seharusnya mampu memberikan semangat ekstra, ada cara yang harus tingkatkan atau bahkan mengalami perbaikan, atau lebih sederhananya ‘Saat mahasiswa ini memiliki tujuan mulia dan luar biasa, tak mungkin bisa di raih dengan cara yang biasa, mestilah dengan semangat dan cara yang luar biasa pula’.
Tangan mahasiswa yang ingin menggenggam tujuan itu kini terasa luka dan perih, dan apa luka ini menyurutkan semangat, dan mematikan langkah?, atau malah luka ini mengajarkan bagaimana menggenggam dengan baik.
Target perjuangan mahasiswa di era ini seperti sang pecinta bunga yang ingin menggenggam mawar, pencinta itulah mahasiswa, dan mawar itulah (tujuannya), yang perlu dengan baik dan teliti, bahkan mempelajari bagaimana menggenggam mawar agar tidak luka, jikapun luka bagaimana mawar tidak hancur, dan mawar kita dapat dengan keharumannya yang tak mesti berkurang.
Teruntuk mahasiswa yang sedang berjuang, dan telah jatuh cinta dimedan perjuangan, teruslah berjuang, meski tangan itu berdarah saat menggenggam, setidaknya bunga itu kan jatuh dipelataran, harumnya kan tetap bersahaja, dan luka itu menjadi tanda, bahwa tangan itu adalah alat penting merubah sekitar dengan semangat yang ada.
Penulis
Oleh : Arwan Syahputra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Komentar