NANGGROE.MEDIA | Pada hari Selasa 6 Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna menjadi Undang-Undang.
Persetujuan ini sekaligus mengakhiri perjalanan panjang dari upaya memperbaharui KUHP peninggalan Belanda yang sudah berlaku sejak tahun 1918.
Menyusun RKUHP di negeri yang multi etnis, multi religi dan multi kultural memang bukan pekerjaan yang mudah, sehingga keputusan akhir yang diambil oleh tim perumus RKUHP merupakan “jalan tengah” untuk merajut kebhinekaan Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, penegakan hukum di Indonesia sangat membutuhkan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yang mengusung keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif, sebagai respon terhadap asas legalitas yang selama ini diterapkan secara kaku.
Untuk mengatasi kekakuan itu, RKUHP mengatur pembaharuan hukum, antara lain alternatif sanksi pidana selain penjara yaitu pidana denda, kerja sosial dan pengawasan, kemudian tujuan dan pedoman pemidanaan, pergeseran paradigma dalam pidana dan pemidanaan untuk penjatuhan sanksi pidana yang lebih humanis dan bermartabat, serta pemaafan oleh hakim.
Atas dasar itulah, RKUHP mengatur adanya asas keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia, antara tidnak pidana dan sikap batin pelaku, yang semuanya berpedoman pada ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945.
Keseimbangan itu sekaligus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemokrasi dan juga ruang privat masyarakat. Meski demikian, kebebasan tersebut juga diwujudkan secara bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai keindonesiaan, dan juga menghormati hak asasi orang lain.
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosio-politik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Karena itu, penggalian nilai-nilai masyarakat dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan kondisi terkini dari sosio-politik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pembaruan hukum pidana sejatinya cukup luas, yaitu pembaruan hukum pidana materiil, hukum pidana formiil dan pembaruan pelaksanaan pidana. Orientasi pembaruan pilar hukum pidana dalam RUU KUHP hanya mencakup pembaruan hukum pidana materiil.
Kerangka berfikir pembaruan pilar hukum pidana (tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan) bertolak dari ide dasar keseimbangan yang dilandasi oleh nilai keseimbangan Pancasila yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Kemasyarakatan.
Ide dasar keseimbangan tersebut diterjemahkan meliputi:
1. Keseimbangan monodualistik (harmoni kepentingan individu dan masyarakat).
2. Keseimbangan perlindungan sosial dan tujuan kesejahteraan sosial.
3. Keseimbangan nilai kepastian hukum dan keadilan.
4. Keseimbangan individualisasi pidana dan korban.
5.Keseimbangan pada aspek formal dan materiel.
6. Keseimbangan nilai nasional dan universal. Ide keseimbangan ini kemudian, menjadi dasar dalam merumuskan penormaan dalam RUU KUHP dan menjadi arah baru dari pembaruan pilar hukum pidana.
Pembaruan pilar hukum pidana dalam RUU KUHP diwujudkan melakukan pembaruan subtansif terhadap pilar tindak pidana bahwa untuk menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak bersumber pada asas legalitas formiil dan asas legalitas materiil.
Adanya perluasan makna asas legalitas formil menuju materil berdampak pada hadirnya terminologi yuridis mengenai tindak pidana dalam RUU KUHP. Pilar pertanggungjawaban pidana mengakomodasi asas geen straf zonder schuld (asas tiada pidana tanpa kesalahan) merupakan arah baru dari pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dengan tindak pidana.
Sementara pilar pemidanaan telah memformulasikan secara tegas dalam RUU KUHP mengenai karakteristik dari tujuan pemidanaan tidak lagi semata-mata sebagai sarana pembalasan, akan tetapi adanya upaya mensosialisasikan pelaku kembali ke masyarakat. Perubahan mendasar pada ketiga pilar hukum pidana tersebut tidak terlepas dari ide dasar keseimbangan nilai Pancasila.
Penulis : Fransiska Alemina Sembiring Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara
Komentar