Nanggroe.net | Pada minggu pertama Ramadhan 1442 H tahun ini, saya melawat ke Bandung dalam rangka mengunjungi anak saya yang tinggal di sana.
Sebelum keberangkatan saya ke sana, di Aceh saya menghubungi beberapa teman dekat, yang juga kebetulan sering berkomunikasi dengan warga di Bandung yang kadang mengunjungi Irwandi di LP Sukamiskin.
Saya memberitahu kepada teman di Banda Aceh untuk memberitahu kepada teman yang kadang berkunjung ke Irwandi untuk memberitahu maksud saya kepada Irwandi.
Setiba saya di Jakarta, teman di Bandung memberitahu kan saya, bahwa Irwandi senang dan bersedia menerima saya di LP Sukamiskin dan akan meminta izin kepada otoritas penjara untuk mengizinkannnya.
Tanggal 15 April pagi, ketika saya tiba di Bandung dengan KA Parahyangan, saya langsung menuju ke LP Sukamiskin, karena teman yang sudah membezuk Irwandi beberapa hari sebelumnya sudah menyatakan tanggal 15 April, jam 11 pagi.
Tiba-tiba begitu saya melewati pintu gerbang LP Sukamiskin, saya ditelpon oleh teman yang di Bandung itu, bahwa Irwandi tidak diperkenankan lagi menerima tamu, karena telah melakukan hal-hal yang melanggar ketentuan penjara.
Saya prihatin, sekaligus merasa kurang senang karena “dosa apalagi” yang hendak ditimpakan kepada mantan Gubernur Aceh itu.
Setelah buka puasa dan tarawih, saya mencari tahu dengan mengajak bertemu satu dua teman Irwandi di Bandung.
Dari situlah kemudian saya tahu, kenapa saya, dan juga mungkin beberapa pengunjung lain yang hendak mengunjungi Irwandi tidak diperkenankan oleh otoritas penjara untuk ditemui.
Rupanya ada sebuah surat dari Aceh yang menyebutkan keberatan terhadap perlakuan penjara kepada Irwandi selama ini.
Teman itu kemudian memperlihatkan kepada saya surat dari Aceh mengklaim pelanganan pasal tertentu oleh napi seperti Irwandi yang dituduhkan sebagai “sangat bebas” dalam penjara dengan sejumlah bukti yang dilampirkan.
Surat itu dengan sangat terang benderang menuduh Lapas telah gagal nenerapkan amanat undang-undang dalam upaya “penghilangan kemerdekaan sebagaimana layaknya manusia biasa” terhadap Irwandi Yusuf yang telah ditetatapkan sebagai narapidana.
Surat itu juga menyebutkan akibat pelanggaran kebebasan itu, Irwandi telah berhubungan keluar, terutama berkomunikasi dengan komunitas dan simpatisan Irwandi di Aceh.Akibatnya telah terjadi berbagai kegaduhan yang timbul dalam masyarakat.
Lebih lanjut Irwandi bahkan dituduh telah mengendalikan partai yang didirikannya dari penjara LP Sukamiskin.
Kalau ada sesuatu yang mungkin dapat membuat saya miris adalah ketika dalam surat itu juga disebutkan ada fasilitas istimewa kepada Irwandi dalam penjara.
Dengan salah satunya menyebutkan Irwandi mendapat fasilitas listrik dan AC di kamarnya, yang distilahkan dengan “perlakuan istimewa terhadap koruptor”.
Disebutkan pula beberapa pembuat surat itu sangat keberatan dengan ekspose media terhadap Irwandi.
Selain memperlihatkan copy surat itu kepada saya, teman tadi juga menyebutkan kepada saya sejumlah tindakan yang dilakukan oleh pihak tertetu terhadap Irwandi, seperti memeras kader partainya, mengerakkan massa untuk membuat kerusuhan, dan menyebarkan kebencian kepada negara.
Tentang penyebutan yang terakhir tentu saja tidak ada bukti yang ditunjukkan, bisa saja itu merupakan sinyalemen, atau mungkin saja benar adanya.
Namun selain dari bukti tertulis yang saya lihat di pertemuan di Bandung, saya lebih menganggap berita itu masih dalam taraf kebenaran “hipotetis” dengan peluang yang sama terhadap salah atau benar.
Bagi saya pribadi, terlepas dari kesalahan yang telah diputuskan oleh pengadilan terhadap Irwandi, dengan pembelahan persepsi dalam masyarakat Aceh terhadap vonis itu, sebagai kawan baik saya, dan bahkan pernah berkompetisi dengannya, surat itu sangat saya sayangkan, karena datangnya dari Aceh.
Penulis adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
Sumber serambienews.com
Komentar